Namun, apa yang diperbuat oleh otak sayur asem encer? Otak tidak ingin molaritas kadar garam dalam kuahnya berubah. Otak ingin tetap encer karena encer tidak asin dan keasinan itu tidak enak. Oleh karena itu, ketika sebagian kuahnya diuapkan secara paksa oleh "kompor" kehidupan, otak membangun mekanisme "mirror", cermin atau kaca yang menghalangi proses penguapan (evaporasi).
 Sayur asem memag sebagian kuahnya akan menguap, tetapi karena ada kaca, ia akan menyublim dan mencair kembali, serta dengan bantuan gravitasi, ia akan jatuh dan menetes kembali ke panci. Sayur asem menjadi tidak asin lagi.
 Apakah sayur itu lebih baik tidak asin? Tidak, terkadang keasinan akan jauh lebih sehat dibandingkan dengan rasa yang pas, tetapi  tidak apa adanya. Proses "mirror" dan proyeksi balik diri kita via kaca tak kasat mata itu akan tercermin dalam perilaku dependensi, posesif, depresi dan psikosomatis (gejala jasmaniah yang menyangkut psikis, emosi dan kejiwaan). Terkadang juga disertai dengan perilaku agresi, arogansi, dan alienasi. Orang-orang yang "mengaku" atau tampaknya seperti mengalami gangguan kejiwaan itu sesungguhnya hanyalah sayur asem yang keenceran, kok!
 Jadi bagaimana yang ideal itu? Sayur asem yang ideal, "bumbunya" harus prediktif dan peduli masa depan. Artinya, si sayur asem sudah menghitung dengan tepat setelah berapa kali pemanasan ia akan menjadi super lezat dan "isinya" masih mencukupi  untuk dikonsumsi dan dinikmati oleh orang banyak. Bukankah Allah SWT telah memperingatkan kepada kita bahwa menjadi pribadi taqwa itu dicirikan melalui sikap pembelajar dan perencana yang andal?
 Hal terpenting apa yang dapat kita pahami dari teori sayur asem ini? Hal pentingnya adalah pemahaman tentang efek proyeksi balik dari kaca maya yang berupa kemunculan "halusinasi kognitif". Nilai-nilai yang kita pancarkan akan memantul balik dan "menyilaukan" akal sehat kita. Bahayanya, jika sedang berada dalam kondisi "silau" itulah kita akan membuat dan menginternalisasi nilai, definisi atau memaknai dengan cara kita sendiri. Jika hal itu terjadi, kita tidak akan mendapatkan gambaran obyektif dari kondisi riil karena terkendala efek pantulan, efek buram dan efek kejut dari "mirror" yang terbentuk. Akan terjadi sirkumstansi mental  yang bersifat delusional. Kita terjebak dalam mimpi dan nilai-nilai semu yang kita yakini sendiri.
Dr. Tauhid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H