Mohon tunggu...
wahab
wahab Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nawa saya wahab Abrori biasa di panggil wahab, tanggal lahir saya jepara 03, April 1998, alamat saya di kembanga depok sari rt 03/07 jepara, saya dari keluarga yang sedang , adan saya ingin mendapatkan beasiswa untuk meringakan beban oran tua dalam membaiayai kuliah, karena saya punya tujuan agara bisa membawa orang tua saya ke mekkah dengan adanya saya berpendidikan tinggi saya bisa mengamalkan ilmu di masyarakat dan bisa membimbing keluarga maupun orang terdekat saya menuju taffaqun fiddin

tak tampan juga tak pintar tapi mahluk tuhan kesayangan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

FTIK Uninsu

11 Juni 2021   06:33 Diperbarui: 11 Juni 2021   06:35 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

FTIK UNISNU
Nama: M.Ashhabul Kahfi
NIM : 191310004145
Kelas: 4PAI A7
Materi: Prinsip dan Faktor perkembangan

Dampak Melihat Film Kartun Pada Anak-anak : Peningkatan Perilaku Agresif

Pendahuluan

Pertumbuhan atau perkembangan merupakan masa yang akan dilalui oleh setiap individu, dimulai dari masa kanak-kanak sampai seseorang tersebut berumur(Tua), kemudian meninggal. Pada umumnya ada tiga fase perkembangan di dalam diri seseorang. Pertama yaitu fase anak-anak, ke dua remaja, ke tiga tua. Pada hakikatnya perkembangan itu sendiri adalah pola perubahan seseorang baik fisik atau pun pada sikapnya, seperti yang terjadi pada anak-anak dizaman sekarang, yang mana perubahan sikapnya sangat cepat disebabkan oleh salah satunya adalah media electronic, seperti Handphone atau Televisi.  

Isi

Bagi anak-anak, melihat televisi merupakan salah satu cara menghibur diri dikala mereka tidak bisa bermain dengan teman sebayanya. Bahkan anak-anak tersebut tidak jarang menolak ajakan temannya untuk bermain demi melihat televisi, terutama film kartun. YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) juga membenarkan pendapat diatas bahwa televisi merupakan media yang paling banyak ditonton dengan alasan paling menghibur bagi pemirsa anak-anak (Sunarto, 2009). 

Menurut kepala bagian Kajian Anak dan Media YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) Guntarto, hanya 25 persen tontonan anak yang bisa dikatakan aman. Sisanya, menunjukkan tontonan yang tidak berkualitas dan tidak aman untuk dikonsumsi oleh pemirsa anak-anak. YKAI sendiri memiliki beberapa kriteria aman mengenai tontonan anak. Pertama, program anak tidak bertemakan anti sosial, seksualitas, supranatural, dan tema-tema yang bertenatangan dengan pendidikan. Kedua, alur cerita yang diperlihatkan simpel, ada batas yang jelas mana yang baik dan buruk atau boleh dan tidak boleh. Ketiga, tidak menggunakan kata-kata yang tidak pantas diucapkan dan didengarkan oleh anak. Misalnya, kata-kata kasar. Keempat, tontonan dapat menumbuhkan berbagai nilai positif pada anak. Misalnya, menumbuhkan keinginan berempati dan menolong orang lain, menghargai budaya lain, kreatif bahkan berpikir kritis. Terakhir, tontonan tersebut disukai oleh anak-anak (Sunarto, 2009).

Saat ini sebagian besar tontonan anak-anak berisikan film kartun impor, seperti Doraemon, Dora The Explorer, Crayon Sinchan, dll. Berdasarkan kriteria di atas, film kartun tersebut berada dalam kriteria hati-hati bahkan tidak aman. Banyaknya film kartun sebagai tontonan anak-anak baik di Indonesia maupun di negara lain menyebabkan timbulnya berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Dalam tulisan ini, saya berargumentasi bahwa anak-anak yang melihat film kartun akan menimbulkan dampak negatif yaitu mengalami peningkatan perilaku agresivitas. Untuk membenarkan argumen ini, saya akan menuliskan bahwa banyak dampak negatif yang ditunjukkan oleh anak yang melihat film kartun dibandingkan dampak positif  yang akan mempengaruhi perkembangan perilaku agresivitas anak.

Dewasa ini, hampir seluruh stasiun televisi Indonesia menayangkan film kartun untuk anak-anak. Menurut YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia) film kartun merupakan salah satu film cerita anak yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi yang khusus ditujukan untuk anak-anak (Sunarto, 2009). Beberapa stasiun televisi di Indonesia  menayangkan kurang lebih tiga judul film kartun dengan durasi setengah jam setiap hari, baik pagi maupun sore hari. Khusus hari Minggu, jumlah penayangannya menjadi lebih banyak. Satu stasiun televisi bisa menayangkan lebih dari sepuluh film kartun. Penayangan film kartun yang semakin banyak ini merupakan dampak dari ketertarikan anak-anak terhadap film yang mereka tonton.

Ketertarikan anak-anak dengan pembelajaran menggunakan media massa (cetak dan elektronik)  lebih besar dibandingkan dengan pembelajaran yang formal, layaknya belajar di dalam kelas (Light, Keller, & Calhoun, 1989 dalam Berry & Asamen, 1993). Ketika seorang anak melihat televisi, maka ia akan melibatkan aspek kognitif yang dimiliki dan berdampak berupa "pemahaman" (Berry & Asamen, 1993). Pemahaman tersebut diartikan sebagai pengertian dan integrasi dari berbagai bagian film ke dalam diri anak. Pemahaman dapat dilakukan terhadap tingkah laku, kejadian, dan akibat baik yang ditampilkan secara eksplisit maupun implisit, dalam satu atau beberapa adegan dalam film. Menurut Berry & Asamen (1993), ada dua  fungsi dari pemahaman tersebut, yaitu filter (penyaring) dan mediator (perantara). Filter digunakan untuk menyaring adegan-adegan yang akan menimbulkan dampak negatif dari film kartun, sehingga anak memiliki pemahaman untuk tidak meniru apa yang ditayangkan oleh film kartun tersebut. Mediator berguna ketika anak berada dalam kondisi melihat film kartun beradegan kekerasan, maka anak akan memiliki pemahaman untuk memikirkan lebih jauh hubungan sebab-akibat serta konsekuensi dari adegan kekerasan tersebut. Sehingga anak akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang disaksikannya (dampak positif).

Syahrul (1997) menemukan bahwa anak-anak yang berusia sekitar 9 sampai 10 tahun termasuk memiliki pemahaman yang baik, namun tidak bagi anak-anak yang berusia kurang dari 8 tahun. Dalam sebuah penelitian, anak yang berusia 2 sampai 4 tahun yang melihat film kartun Dora The Explorer akan mengalami perkembangan bahasa yang lebih baik. Anak mendapatkan penambahan kosakata baru dan menjadikannya sebagai gaya bahasa sehari-hari. Selain itu, film  Dora The Explorer  juga mengubah perilaku anak yang cenderung berorientasikan kepada apa yang dilakukan dan dikatakan oleh "Dora" (Arofa, 2005).

 Penelitian Murni dan Urip (2008) terhadap film kartun Doraemon, juga menemukan hasil yang sama, yaitu dampak negatif dari film Doraemon  lebih banyak dari dampak positifnya. Perilaku positif yang timbul setelah melihat film doraemon adalah anak belajar bahwa sesuatu yang diperoleh dengan mudah awalnya memang menguntungkan dan sesuatu yang digunakan secara berlebihan atau sembarangan dapat berakibat negatif baik bagi dirinya maupun orang lain. Sedangkan, perilaku negatif yang timbul setelah melihat film doraemon adalah mengajarkan kepada anak bahwa percintaan suatu hal yang benar, berkhayal yang tidak logis dan sikap anak yang kurang baik terhadap orang tua. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif yang paling besar pengaruhnya adalah perilaku agresivitas yang meningkat ketika anak melihat tokoh Giant yang sering mengatakan kata-kata kotor dan berkelahi dengan tokoh Nobita.

Menurut Bandura dan Walter bahwa anak yang melihat film yang mengandung kekerasan dapat menampilkan perilaku keras dan agresif (Fuller & Jaccobs, 1973). Menurut Potter dan Warren (1998) kekerasan merupakan suatu integral yang sudah terdapat dalam film kartun, bahkan kekerasan dalam film kartun lebih besar dibandingkan di film action dan drama (Kirsh, 2005). Kekerasan film kartun sering dikamuflasekan dengan adanya komedi dalam film kartun tersebut (King, 2000; Potter & Warren, 1998 dalam Kirsh, 2005). Bandura (1977) melihat timbulnya perilaku agresif diakibatkan oleh imitasi dan identifikasi. Imitasi merupakan perilaku anak yang cenderung untuk meniru tingkah laku yang ditampilkan tokoh film karena tingkah laku tersebut dipandang sebagai "super hero" atau hebat. Identifikasi merupakan prilaku meniru kepada tokoh yang dikagumi oleh anak. Bagi anak yang berusia dibawah 8 tahun, tidak memiliki pemahaman yang baik akan perilaku adaptasi dan imitasi ini.

Pengamat televisi juga telah mengamati bahwa siaran kartun yang dipertontonkan untuk anak-anak, banyak memuat adegan kekerasan dan sadis seperti pembunuhan dan penganiayaan (Sunarto, 2004). Sebagai contoh, jenis-jenis penganiayaan yang dilakukan oleh Donald Duck terhadap Chipmunck dalam film seri Donald Duck dari Walt Disney atau oleh Road Runner terhadap Coyote dalam film seri The Road Runner. Apabila anak meniru tindakan tersebut, sangat mungkin mengakibatkan cedera yang dapat membahayakan jiwa anak itu sendiri maupun anak lain sebagai temannya. Anak yang mendapatkan kekerasan sejak usia dini, maka anak tersebut cenderung akan melakukan kekearsan tersebut di usia selanjutnya (Ellison, 2008).

Penelitian U.S Psychologist (1990) juga menunjukkan bahwa film kartun yang dilihat oleh anak-anak merupakan penyebab tingginya perilaku agresivitas pada anak-anak. Penelitian yang dilakukan terhadap 95 anak perempuan yang berusia 10 dan 11 tahun ini, menunjukkan bahwa siaran televisi kartun Scooby-Du dan Pokemon menimbulkan perilaku agresif terhadap teman sebaya dibandingkan siaran televisi American Idol. Perilaku agresif yang dilakukan oleh anak perempuan ini ada dua macam, yaitu perilaku agresif verbal (dalam perkataan anak-anak perempuan) dan perilaku agresif fisik (dalam perilaku anak-anak perempuan). Perilaku agresif pada anak pada film kartun cenderung meningkat, apabila  film kartun yang dilihat oleh anak-anak adalah yang bergenre kekerasan.

Penelitian oleh Harvard's School of Public Health's (2005) yang meneliti lebih lanjut mengenai kekerasan menunjukkan bahwa film kartun The Lion King dari G-rated animated films berdampak negatif pada anak-anak, sehingga orang tua ataupun wali disarankan untuk tidak memperbolehkan anak-anaknya melihat film ini. Karakter animasi maupun film kartun dapat meningkatkan kebingungan antara mana yang fantasi dan realita pada anak prasekolah (Hayes & Casey, 1992 dalam Harvard's School of Public Helath's, 2005). Sehingga mereka cenderung untuk meniru apa yang mereka lihat. Penelitian oleh Harvard Center for Risk Analysis at the Harvard School of  Public Health, menunjukkan bahwa kekerasan dalam film kartun juga dapat mempengaruhi mental anak (Gilula & Daniels, 1970 dalam Sanson & Dimuccio,1993). Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan sosial anak yang bisa saja menjadi penakut ataupun terlalu agresif. Tidak ada  satu pun anak yang tidak suka menonton kartun dan film kartun tidak semuanya bermanfaat dan cocok buat anak kecil, lantas apa yang harus dilakukan oleh orag tua?. Pertama orang tua tidak langsung memarahi/melarang si anak untuk tidak menonton film kartun, namun orang tua harus membimbing/mendampingi untuk memilih film kartun yg cocok buat si anak, seperti kartun yang mengandung bermain dan belajar. Ke dua orang tua harus harus memilih kartun yang tidak mengandung kekerasan,konten SARA, dan hal-hal yang mengandung kejahatan. Ketiga membatasi dan mengatur jadwal menonton film kartun agar tidak bertabrakan dengan jadwal belajar.

Simpulan

Kesimpulan yang didapat, melihat film kartun memiliki banyak dampak negatif dibandingkan dampak positifnya pada anak-anak. Dampak negatif ditunjukkan dengan adanya unsur kekerasan dalam film kartun tersebut, sehingga menimbulkan perilaku agrsesif. Anak-anak yang belum memiliki kemampuan yang tinggi dalam memahami apa yang mereka lihat, mereka cenderung akan menirunya. Hal ini disebabkan karena adanya perilaku modeling melalui observasi oleh anak-anak. Perilaku agresif yang didapatkan anak sejak usia dini menyebabkan anak tersebut cenderung akan berperilaku agresif dikemudian hari. Saya telah menunjukkan beberapa perilaku negatif yang muncul pada anak-anak setelah menonton film kartun yang mengarahkan anak tersebut berprilaku agresif, yang akan terlihat ketika anak tersebut berinteraksi dengan teman sebayanya. Di lain pihak, dampak positif yang ditunjukkan oleh anak setelah melihat film kartun kurang efektif dalam proses pembelajaran ataupun berprilaku yang baik.

Daftar Pustaka

Arofa, Nur. 2005. Dampak Menonton Film Kartun Animasi di Televisi terhadap Perkembangan Cara Bicara pada Anak Usia 2 Tahun sampai 4 tahun. Under Graduates thesis, Universitas Negeri Semarang.

Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. New Jersey: Prentice Hall.

Berry, G. L. & Asamen, J.K. (1993). Children and Television: Images In A Chalenging Sociokultural World. London: Sage Publications.

Fuller, John Scott & Jerry Jacobs. 1973. "Socialization". Hlm. 168-208 dalam Jack D. Douglas(ed.), Introduction to Sociology: Situations and Structure. New York: The Free Press.

Harvard's School of Public Health's  Wandel, T.L. 2005. Dalam  G-rated animated film violence: An issue waiting to be managed. PRism 3.

Kirsh, S. J. (2005). Cartoon Violence and Aggression in Youth.  Department of Psychology, SUNY-Geneseo, Geneseo, NY 14454, United States. http://www.ksu.edu.sa/sites/KSUArabic/Research/ncys/Documents/r352.pdf, diakses pada tanggal 06-06-2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun