Mohon tunggu...
Wagiman Rahardjo
Wagiman Rahardjo Mohon Tunggu... -

Hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dear, Bapak Jonru...

22 Desember 2014   06:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:45 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak Jonru,

 

Mari kita memulai pembicaraan ini dengan sebuah statement: saya bukanlah seorang Jokower atau simpatisan beliau. Bahkan, saya memilih untuk golput pada pemilihan presiden Juli lalu. Sehingga, apa yang saya utarakan pada tulisan ini murni curahan hati saya sebagai seorang netizen.

 

 

 

Bismillahirrahmanirrahim,

 

Apa kabar Pak Jonru? Semoga anda selalu dilindungi Allah SWT. Saya datang melalui tulisan ini sebagai seorang pengamat posting-postingmu di internet. Saya tahu bahwa sudah banyak tulisan yang ditujukan untuk anda, dan saya harap anda belum bosan membacanya.

 

 

 

Bapak Jonru,

 

Saya mulai mengenal halaman anda sejak 2012 silam. Meskipun tak melanggan, tulisan anda sangat kerap muncul melalui share dari kawan-kawan saya. Dari sejumlah share terebut, saya bisa mengetahui bahwa anda adalah seorang yang pandai memotivasi, terlihat dari status-status anda yang kerap mendorong orang untuk menulis. Selain itu, saya juga juga salut dengan sejumlah posting anda yang begitu getol membela Islam, meskipun belakangan saya mengetahui bahwa anda adalah seorang mualaf. Saya yang lahir dalam naungan Islam saja belum bisa melakukan apa yang anda perjuangkan. Setiap saya membaca tulisan anda yang di-share oleh kawan-kawan, saya merasa tentram, ternyata masih ada penulis yang menggunakan dakwah sebagai motivasinya.

 

 

 

Bapak Jonru,

 

Lama tak membaca posting-posting anda, saya dikejutkan dengan komentar-komentar kawan saya. Sebagian dari mereka kecewa karena Jonru kini tak seperti Jonru yang mereka kenal dahulu. Menjelang pemilihan presiden 2014 silam, tulisan-tulisan anda yang memotivasi dan menentramkan seakan hilang ditelan bumi. Sebagai gantinya, tak hentinya anda menyebarkan posting mengenai kritik terhadap seorang capres yang kini terpilih sebagai presiden: Jokowi. Awalnya, saya tidak peduli, mengingat saya sudah berencana untuk tidak menggunakan hak pilih. Namun demikian, setelah membaca tensi yang memanas di halaman anda, saya tergelitik untuk berkomentar.

 

 

 

Bapak Jonru,

 

Seorang Mustofa Bisri, atau yang akrab kita sapa Gus Mus, pernah berkata:  kondisi negeri yang ideal adalah apabila pemimpin mencintai rakyatnya, dan rakyatnya mencintai dia. Apakah Jokowi mencintai rakyatnya? Itu urusan beliau dengan Allah. Namun demikian, apakah kita sudah berupaya menjadi rakyat yang mencintai pemimpinnya? Itu juga tanggung jawab kita. Kedua syarat tersebut tidak hanya cukup dipenuhi salah satunya, Bapak Jonru, keduanya saling melengkapi. Di era demokrasi seperti ini, kepercayaan terhadap pemimpin adalah hal yang penting. Lantas, apakah kita tidak boleh menegur pemimpin ketika salah? Tentu saja boleh, bahkan sangat disarankan. Demokrasi tidak akan membiarkan seorang pemimpin tak bertanggung jawab; ia justru membuka partisipasi bagi kita untuk mengawal pemimpin apabila salah arah. Dalam agama kita yang luhur ini pun, menasihati pemimpin adalah sebuah akhlak terpuji. Lantas, apa yang dipermasalahkan?

 

Bapak Jonru,

 

Dalam agama kita, mengkritik pemimpin ada caranya. Imam Nawawi Rahimahullah pernah berkata:

 

 

 

“Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong dan menaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan menaati mereka.”

 

 

 

Berdasarkan kutipan di atas, bisa kita ketahui bersama bagaimana adab menasihati seorang pemimpin. Dalam mengkritik, hendaknya kita tetap pada tujuan untuk meluruskan pemimpin, bukan menjatuhkannya. Selain itu, kritik seyogyanya tetap dalam koridor semangat ketaatan, bukan pada pembangkangan. Sebagai seorang muslim yang taat, saya yakin bahwa hal tersebut tidak sulit untuk anda cerna.

 

Bapak Jonru,

 

Saya teringat pengalaman saat melaksanakan salat Jumat di sebuah masjid di Kuala Lumpur, Malaysia. Seusai salat, imam memimpin para jamaah untuk mendoakan para pemimpinnya, bahkan sang imam menyebutkan namanya satu per satu. Sebuah pemandangan yang indah bagi saya. Mengapa? Saya mengenali bahwa rakyat Malaysia juga tak kalah panasnya dengan kita dalam urusan mengkritik pemerintah. Namun demikian, alih-alih menghujat mereka dalam kotbahnya, mereka tak lupa pula untuk mengiringi doa bagi kepemimpinan mereka seusai salat. Masya Allah. Kemudian, saya berpikir: apakah kepercayaan itu berdampak pada kondisi mereka yang kini lebih makmur dari kita? Wallahua’lam.

 

Bapak Jonru,

 

Mungkin saja anda pernah mendengar atau menonton serial Sponge Bob Square Pants. Dalam serial ini, ada sebuah episode yang menarik. Pada episode tersebut, kota asal Sponge Bob dikejutkan oleh kemunculan sesosok “monster menakutkan”, yang ternyata hanya seekor kupu-kupu. Menyadari hal tersebut, Sponge Bob dan sahabatnya pun berteriak-teriak berkeliling kota, mengumumkan bahwa ada monster seram tengah mengancam kota. Apakah kehadiran monster seram itu hoax? Bukan, itu fakta. Apakah cara menyampaikan fakta dari Sponge Bob itu benar? Nanti dulu. Pada akhirnya, ya, memang seantero kota menjadi sadar akan kehadiran monster tersebut. Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Ternyata kota mengalami kekacauan total: rumah-rumah hancur, mobil-mobil bertabrakan, dan para penduduknya mengalami histeria. Padahal, masalah tersebut dapat diselesaikan hanya dengan memasukkan “monster” tersebut ke dalam toples. Sebuah episode yang sulit dilupakan, silakan tanyakan pada anak anda. Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari sana?

 

Bapak Jonru,

 

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa: kadangkala, kita berniat untuk memperbaiki sesuatu dengan memaparkan fakta, tapi rupanya hal tersebut justru memperburuk keadaan akibat kurang tepatnya penyampaian. Dalam hal ini, maaf, saya menemukan kesamaan tersebut dengan posting-posting anda tentang pemerintahan Jokowi. Di satu sisi, saya sangat mendukung semangat anda untuk terus menyajikan kritik atas pemerintah; di sisi lain, saya menilai bahwa cara yang anda gunakan untuk mengkritik masih kurang begitu elegan. Taruhlah apa yang anda sampaikan adalah fakta, itu tetap tak membatalkan kewajiban anda untuk menyampaikannya secara baik. Sebagai analogi lain, adalah fakta bahwa teman anda tidak bisa berjalan karena kecelakaan, tapi apakah etis dengan memanggilnya (maaf) “hai, pincang!” di depan umum? Tentu saja tidak.

 

Bapak Jonru,

 

Sudah bukan rahasia lagi bahwa posting-posting anda banyak menyulut pro dan kontra. Anda, dalam berbagai kesempatan, kerap mengatakan bahwa hanya Jokower-lah yang akan terprovokasi oleh posting anda. Beberapa kali anda juga berpendapat bahwa para Jokower seakan telah me”nabi”kan Jokowi, sehingga mereka sudah tidak bisa objektif. Meski demikian, tahukah anda bahwa kalangan yang pro anda justru lebih banyak terprovokasi? Sekali lagi, maaf Pak Jonru, tapi inilah buktinya:

 

 

Bapak Jonru,

 

Foto di atas bukan editan, itu adalah hasil screen capture dari sejumlah komentar netizen di beberapa posting anda. Dari jenis komentarnya, jelas bahwa mereka adalah orang yang sependapat dengan anda; mereka bukan Jokower yang anda anggap sebagai oknum yang selalu “blingsatan” membaca tulisan anda. Di samping itu, masih banyak ratusan komentar yang saking kasarnya, saya tak tega untuk meng-capture-nya. Bapak, memang benar adanya, bahwa pemimpin yang “dinabikan” oleh umatnya adalah sebuah hal yang berbahaya. Namun demikian, tak kalah berbahayanya apabila seorang pemimpin “diibliskan” oleh rakyatnya sendiri. Tidak seperti komentar pro-Jokowi yang kerap anda hapus, komentar seperti itu rupanya masih bebas berkeliaran di luar sana. Apakah itu yang anda inginkan? Semoga tidak.

 

Bapak Jonru,

 

Seperti anda, saya juga pernah merasakan bangku kuliah. Tentu anda masih ingat kaidah akademik dasar, bahwa setiap tulisan haruslah bisa dipertanggungjawabkan. Daripada sekedar men-share berita, mungkin anda bisa menelurkan sebuah buku yang dikhususkan untuk mengkritik kebijakan pemerintah. Atau apabila itu dirasa masih berat, anda juga bisa menulis kolom opini tentang kelemahan-kelemahan pemerintah pada periode ini. Bukankah portal-portal opini ilmiah seperti itu sudah banyak beredar baik online maupun offline? Sebagai seorang penulis, tentu saja itu bukan sebuah hal yang sulit bagi anda kan? Karena jujur, saat kuliah dulu, mengevaluasi kebijakan pemerintah adalah bukan hal main-main, saya perlu melakukan riset mendalam agar argumen kita dapat dipertanggungjawabkan. Pun, saya juga tak boleh menggunakan sumber seperti blog, Wikipedia, atau selentingan di luar sana. Bahkan, tidak sembarang portal berita dapat kita gunakan sebagai rujukan. Harap maklum, di era seperti ini, tanggung jawab adalah hal langka: siapapun ingin menjawab, tapi hanya segelintir yang mau menanggung. Selain itu, dengan nama anda yang sudah tersohor, mungkin anda bisa mengirim inbox pribadi kepada Presiden Jokowi. Urusan dibaca, ditaati, atau tidak, sekali lagi, itu urusan beliau dengan Allah. Sebenarnya ada banyak metode mengkritik pemerintah yang lebih tepat sasaran, dan tak menimbulkan konflik di antara yang pro maupun kontra dengan anda. Kalau hanya sekedar menshare berita dan memberikan komentar pedas, maaf, sepupu saya yang duduk di bangku SD juga sudah mahir melakukannya.

 

Bapak Jonru,

 

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah harapan, agar semangat anda untuk peduli terhadap bangsa ini tetap berkobar. Di samping itu, saya juga berharap bahwa sebagai pendakwah, anda mampu membawa semangat positif bagi para penggemar yang setia menantikan posting-posting anda. Saat ini, kita hanya berbagi satu negara yang akan sayang sekali apabila dipecah-belah. Sekian dari saya, wassalamualaikum.

 

Sebagai penutup tulisan, saya berikan sebuah kutipan dari Sayyidina Ali untuk direnungkan bersama:

 

 

 

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah ditanya oleh seseorang: “Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau? Jawab Ali: “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, masyarakatnya adalah orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, masyarakatnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun