Mohon tunggu...
Wagiman Rahardjo
Wagiman Rahardjo Mohon Tunggu... -

Hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dear, Bapak Jonru...

22 Desember 2014   06:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:45 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

 

Bapak Jonru,

 

Seorang Mustofa Bisri, atau yang akrab kita sapa Gus Mus, pernah berkata:  kondisi negeri yang ideal adalah apabila pemimpin mencintai rakyatnya, dan rakyatnya mencintai dia. Apakah Jokowi mencintai rakyatnya? Itu urusan beliau dengan Allah. Namun demikian, apakah kita sudah berupaya menjadi rakyat yang mencintai pemimpinnya? Itu juga tanggung jawab kita. Kedua syarat tersebut tidak hanya cukup dipenuhi salah satunya, Bapak Jonru, keduanya saling melengkapi. Di era demokrasi seperti ini, kepercayaan terhadap pemimpin adalah hal yang penting. Lantas, apakah kita tidak boleh menegur pemimpin ketika salah? Tentu saja boleh, bahkan sangat disarankan. Demokrasi tidak akan membiarkan seorang pemimpin tak bertanggung jawab; ia justru membuka partisipasi bagi kita untuk mengawal pemimpin apabila salah arah. Dalam agama kita yang luhur ini pun, menasihati pemimpin adalah sebuah akhlak terpuji. Lantas, apa yang dipermasalahkan?

 

Bapak Jonru,

 

Dalam agama kita, mengkritik pemimpin ada caranya. Imam Nawawi Rahimahullah pernah berkata:

 

 

 

“Ada pun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, adalah dengan menolong dan menaati mereka di atas kebenaran, memerintahkan mereka dengannya, memperingatkan dan menegur mereka dengan santun dan lembut, memberi tahu mereka apa-apa yang mereka lalaikan, dan hak-hak kaum muslimin yang belum mereka sampaikan, tidak keluar dari kepemimpinan mereka, menyatukan hati manusia dengan menaati mereka.”

 

 

 

Berdasarkan kutipan di atas, bisa kita ketahui bersama bagaimana adab menasihati seorang pemimpin. Dalam mengkritik, hendaknya kita tetap pada tujuan untuk meluruskan pemimpin, bukan menjatuhkannya. Selain itu, kritik seyogyanya tetap dalam koridor semangat ketaatan, bukan pada pembangkangan. Sebagai seorang muslim yang taat, saya yakin bahwa hal tersebut tidak sulit untuk anda cerna.

 

Bapak Jonru,

 

Saya teringat pengalaman saat melaksanakan salat Jumat di sebuah masjid di Kuala Lumpur, Malaysia. Seusai salat, imam memimpin para jamaah untuk mendoakan para pemimpinnya, bahkan sang imam menyebutkan namanya satu per satu. Sebuah pemandangan yang indah bagi saya. Mengapa? Saya mengenali bahwa rakyat Malaysia juga tak kalah panasnya dengan kita dalam urusan mengkritik pemerintah. Namun demikian, alih-alih menghujat mereka dalam kotbahnya, mereka tak lupa pula untuk mengiringi doa bagi kepemimpinan mereka seusai salat. Masya Allah. Kemudian, saya berpikir: apakah kepercayaan itu berdampak pada kondisi mereka yang kini lebih makmur dari kita? Wallahua’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun