Mohon tunggu...
Wafiqa Rahmah Balqis
Wafiqa Rahmah Balqis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Halo! Nama Saya Wafiqa Rahmah Balqis, penulis blog ini. Saya senang berbagi pengalaman dan wawasan tentang berbagai hal terkhusus pariwisata. Mari kita jelajahi bersama!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Antara Jarak dan Hati

9 Oktober 2024   17:16 Diperbarui: 9 Oktober 2024   17:38 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 10 Juli tahun 2019, aku seorang anak perempuan bungsu dari dua bersaudara memutuskan untuk merantau ke Bandung. Tujuannya adalah untuk melanjutkan pendidikan di jenjang SMK, tepatnya di salah satu sekolah kejuruan yang berada di Kabupaten Bandung Barat. Di sana, aku tinggal di asrama yang telah disediakan oleh sekolah-ku.

Generated using AI tool
Generated using AI tool

 Banyak yang bertanya, "Mengapa harus merantau sejak lulus SMP? Apakah ini paksaan dari orang tua?" Jawabanku selalu sama: tidak. Semua ini murni atas keinginanku sendiri. Aku ingin mandiri sejak saat itu.

Hari-hari awal terasa sangat berat. Perbedaan yang kurasakan begitu nyata---mulai dari bahasa, adat istiadat, hingga budaya. Semuanya sangat berbeda dibandingkan dengan kehidupanku di Bengkulu. Aku, yang lahir dan dibesarkan di Bengkulu, tiba-tiba harus menjalani hidup sendirian di Bandung tanpa satu pun sanak saudara di sampingku. Rasanya sungguh berat. Saking beratnya, bahkan untuk mengenang masa-masa itu pun aku hampir tak sanggup. Jika bukan karena menulis cerita pendek ini, mungkin aku tak akan pernah lagi mengulik masa-masa kelam itu.

Namun, di tengah segala kesulitan itu, aku tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Ayah dan ibu pasti akan sedih jika aku pulang dengan kegagalan. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa, aku mampu, aku kuat, dan aku akan bertahan di Bandung. Batin aku terus bergejolak, mengingatkan pada didikan tegas ayah yang membentuk mental aku menjadi tangguh. Prinsipku sederhana: siapa yang bertahan, dialah yang akan menang. 

 "Apapun yang terjadi di sini, cukup aku simpan sendiri. Aku tak ingin membuat orang tuaku khawatir atau kepikiran tentang keadaanku di sini."

Hari-hari di asrama dan sekolah tidaklah semudah yg dibayangkan. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru. Bagaimana tidak? Pada usia 15 tahun, aku sudah harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan di perantauan. Hanya modal tekad dan impian yang aku bawa. Tapi, syukurlah, masa-masa itu kini telah berlalu.

Meskipun awalnya terasa berat, perlahan aku mulai menemukan ritme dalam kehidupan baruku. Di SMK, aku cukup aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Aku bergabung menjadi anggota OSIS, ikut serta sebagai panitia acara tahunan sekolah, dan beberapa kali didaulat menjadi MC dalam acara-acara besar sekolah. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika aku menjadi tokoh utama dalam lomba film pendek tingkat nasional. Film yang kami buat berhasil meraih juara favorit dengan jumlah likes dan views terbanyak di YouTube. Prestasi ini membuatku merasa semua perjuanganku tak sia-sia.

Tahun demi tahun berlalu, dan kini aku telah menginjak kelas 12 SMK, yang berarti ini adalah tahun terakhir sebelum hari kelulusan tiba. Kegiatan di tahun terakhir ini sangatlah padat, banyak tugas-tugas sekolah yang harus aku selesaikan, salah satunya adalah UJIKOM atau Uji Kompetensi Keahlian.

UJIKOM berlangsung selama tiga bulan dan siswa-siswi dibagi sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. Saat aku melihat daftar nama yang ditempel di kaca jendela, ada satu nama laki-laki yang langsung menarik perhatianku. 'Oh, aku sekelas sama dia ya? Dia yang mana sih? Aku jadi penasaran,' pikirku dalam hati.

 Beberapa hari setelah melihat daftar nama, aku menerima notifikasi bahwa laki-laki itu baru saja mengikuti Instagram-ku. Perasaanku campur aduk---senang, deg-degan, dan penuh rasa ingin tahu.

Sebenarnya, aku ingin sekali mengirim pesan terlebih dahulu, tapi rasa malu membuatku ragu. Setelah menunggu cukup lama tanpa ada chat darinya, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirim pesan terlebih dahulu, 'Assalamualaikum, Dam. Lu yang mana, Dam?' tanyaku dengan hati-hati, mencoba memulai percakapan.

Tak lama kemudian, lelaki itu membalas pesanku dengan, 'Waalaikumsalam, yang mana apanya?' Dari situ, percakapan kami terus berlanjut, dan hari demi hari, kedekatan kami semakin erat. Namun, seiring berjalannya waktu, kami harus menghadapi kenyataan bahwa perjalanan ini hampir berakhir. Kami lulus dari SMK dan melanjutkan studi ke universitas yang berbeda; lelaki itu memilih untuk berkuliah di Telkom University, sementara aku melanjutkan pendidikan di Universitas Komputer Indonesia.

Semua perjalanan itu tidak semulus yang terukir dalam cerita ini. Kami telah melewati berbagai rasa---pahit, asam, dan manis. Namun, hubungan yang indah bukanlah hubungan yang bebas dari pertengkaran, melainkan hubungan yang selalu siap untuk saling memaafkan. 

 "Kini, setelah tiga tahun bersama, kami sudah menapaki semester lima. Doaku selalu berharap agar cinta ini terus bersemi, berkembang, dan melangkah bersama hingga ke tahap selanjutnya di masa mendatang. Laki-laki hebat itu bernama Mikdam Huda, sosok yang sangat aku perjuangkan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun