Mohon tunggu...
Wadji
Wadji Mohon Tunggu... Dosen - Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)

Love4All

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bernegara dengan Fatwa, Refleksi Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia

8 Agustus 2020   19:41 Diperbarui: 8 Agustus 2020   19:39 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agustus 2020 adalah Agustus yang luar biasa bagi bangsa Indonesia, karena harus memperingati hari kemerdekaan dengan cara yang tidak biasa. Hingar-bingar perayakan kemerdekaan tidak tampak seperti dulu, ketika wabah corona belum melanda. Boleh jadi Agustus 2020 adalah Agustus paling sepi sepanjang 75 tahun Indonesia merdeka.

Aneka lomba, seperti balap karung, makan kerupuk yang digantung, panjat pinang, adalah nostalgia masa kecil yang terus bisa diulang hingga usia tua, namun tahun ini benar-benar telah menjadi kenangan masa silam untuk sebagian besar orang, kendati pun barangkali untuk sementara waktu saja.

Agustus ternyata tidak hanya bulan penting bagi bangsa Indonesia, tetapi juga penting bagi dunia. Tiap tanggal 9 Agustus diperingati sebagai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (International Day of The World's Indigenous People). Indonesia adalah bagian penting dalam peringatan ini.

Sekali pun sudah 75 tahun Indonesia merdeka, namun demikian sampai hari ini masyarakat adat masih memperjuangkan "kemerdekaannya", yang setidaknya karena masih dijajah oleh bangsa sendiri. Perjuangan melawan bangsa sendiri memang akan menempuh jalan panjang, sebab semakin tidak jelas siapa kawan, dan siapa sesungguhnya yang menjadi lawannya.

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam laman aman.or.id, sejak pertengahan tahun 1980-an perlawanan masyarakat adat terhadap berbagai kebijakan pemerintah mulai bermunculan secara seporadis.

Situasi ini menggugah keprihatinan banyak aktivis gerakan sosial dan akademisi atas kondisi yang dihadapi oleh masyarakat adat di berbagai kampung di tanah air sejak tahun 1990-an.

Masih menurut laman aman.or.id, penggunaan istilah indigenous peoples dalam konteks Indonesia sebagai "masyarakat adat" merupakan bentuk perlawanan terhadap istilah yang dilekatkan kepada masyarakat adat yang melecehkan, seperti "suku terasing", "masyarakat perambah hutan", "peladang liar", "masyarakat primitif", "penghambat pembangunan", dan sebagainya yang melanggar hak konstitusional masyarakat adat sebagai manusia bermartabat, untuk diperlakukan layaknya warga negara Indonesia.

Sepanjang Januari-Desember 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebagaimana diberitakan Kompas.com (10/12/19) mencatat bahwa masyarakat adat yang ada di Indonesia sebagian besar diduga dikriminalisasi.

Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI Rahma Mary mengatakan, dari catatan YLBHI, kebanyakan mereka yang dikriminalisasi adalah masyarakat adat yang dituduh sebagai pelaku pembakaran hutan.

Sebulan sebelum peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia, Indonesia menyambutnya dengan adegan "drama kolosal" penyegelan bakal makam tokoh Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah dan Ratu Emalia Wigarningsih.

Pelaku penyegelan adalah pemerintah, dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Kuningan berserta dengan sejumlah ormas. Adegan semacam ini memang bukan kali pertama di negeri ini. Daftar luka batin yang diderita oleh masyarakat termarjinalkan dari hari ke hari main panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun