"Oh, jadi namanya Aldo." Raut wajah papanya menunjukkan makna tersirat yang Kayesa yakini ada ide terselubung yang coba papanya rangkai. Ide yang pastinya akan merugikan sebelah pihak.
"Pa, jangan macam-macam. Kay bakalan mutusin Aldo. Papa tenang aja."
"Papa tunggu kabar baiknya besok. Dan Papa harap, tidak ada alasan lagi untuk kamu pulang malam dan diantar oleh pria yang gak jelas asal usulnya."
Kayesa berlalu tanpa repot-repot menjawab pernyataan papanya. Sungguh, dia selalu merasa terpenjara dengan segala aturan yang papanya rangkai hanya untuknya. Padahal, untuk dua kakak laki-lakinya, tidak pernah ada aturan yang mengikat mereka. Mereka bebas melakukan apa pun, asalkan tidak merugikan siapa saja dan tidak kelewat batas.
Kayesa memasuki kamarnya dengan langkah gontai. Selesai sudah kisah backstreet yang sudah ia jaga selama 5 bulan terakhir. Padahal biasanya, tidak ada kejadian seperti tadi selama ia berpacaran dengan Aldo. Karena, Aldo memang sering mengantarnya pulang.
Kayesa mengunci rapat kamarnya. Papanya sudah keterlaluan dalam mencampuri urusannya. Dia paham kalau itu adalah bentuk kasih sayang papanya, tapi bukan begitu caranya. Dia sudah remaja, dan sudah sepatutnya ia melangkah mengikuti alur yang dia anggap benar. Bukan dikekang seperti ini.
"Kapan lagi aku ngerasain apa yang teman aku rasain, kalau pacaran aja dilarang." Air mata menerobos keluar tanpa ia minta.
"Ah, aku gak boleh cengeng. Sepertinya ini memang yang terbaik buat aku."
Dia lantas mencoba menghubungi Aldo lalu mengutarakan maksudnya untuk memutuskan hubungan mereka. Dan benar saja, Aldo dengan tegas menolaknya.
"Gak. Kamu apa-apaan, sih. Aku gak mau putus." Sontak saja, Aldo menolak keras permintaannya itu.
"Ini demi masa depan kita, Aldo."