"Kenapa kamu memilih dia, sedang aku di sini terus berusaha buat jadi yang terbaik. Demi kamu." Tangisnya semakin menjadi-jadi. Bahkan tangisannya sudah beradu dengan teriakan penuh kepedihan.
Terjawab sudah segala pertanyaan yang bersarang dalam benak mereka ketika sang ayah membaca apa yang tertera di layar laptop putrinya. Sebuah undangan pernikahan yang bertuliskan Arsyad dan Shaila. Runtuh sudah pertahanan ayahnya ketika melihat kerapuhan putri yang begitu ia sayangi itu. Penantian sang putri sungguh sia-sia. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada penantian yang berujung perpisahan.
Sang ayah lalu membaca pesan yang dikirim oleh Maya, teman Daisha. Di sana tampak pesan di atas pesan. Ayahnya yakin, Arsyadlah yang mengirim pesan itu kepada Maya, lalu di kirim ulang oleh Maya kepada Daisha.
"Hai, Maya. Ini aku Arsyad. Masih kenal, 'kan? Di sini aku mau ngabari ke kamu kalau aku mau menikah, ini undangannya. Maaf, ya aku ngirimnya dari instagram, soalnya aku gatau alamat e-mail kamu. Kebetulan aku nemu ig kamu tadi. Jadi sekalian aja.Â
Oh, iya. Kamu datang ya ke acara nikahan aku. Bareng sama Daisha. Aku udah lama nyari media sosialnya dia, tapi tetap gak nemu. Tiketnya bakal aku kasih khusus buat kalian. Soalnya acaranya di Mesir, aku gak bisa pulang ke Indonesia. Calon istriku tidak bisa meninggalkan study-nya, hehe.
Sekian dulu, ya. Kutunggu kehadiran kalian. Sampaikan salamku untuk Daisha. Dia adalah sahabat baikku. Aku berharap kalian dapat hadir.
Arsyad Fathurrahman
Hanya sebatas sahabat. Ternyata dia saja yang berekspektasi tinggi dengan hubungan mereka. Dia pikir Arsyad memiliki perasaan yang sama untuknya. Harapan tinggallah harapan. Dan benarlah apa yang Ali Bin Bi Thalib katakan, bahwa yang paling pedih di dunia ini adalah berharap kepada manusia. Selama lima tahun ini, ia terlalu tinggi dalam menggantungkan harap. Ia lupa akan patah yang kapan pun dapat menyerang.
Sekarang apalagi yang harus ia perbuat? Meratap atau menyesal? Bukankah keduanya  sama tidak berartinya? Lantas, haruskah ikhlas yang menjadi akhirnya?
"Bisakah aku menghadapi semua ini, Pa, Ma?" tanyanya parau. Pandangannya kosong, seolah tak ada jiwa yang mendiami raga itu.
Ayah dan ibunya sama terlukanya dengan dia. Mereka lupa untuk memberikan kalimat penenang sejak lima tahun yang lalu. Kalimat untuk tidak terlalu mempercayai apa yang Arsyad janjikan. Seharusnya mereka menegaskan bahwa Allahlah sang pembolak balik hati. Lima tahun adalah waktu yang relatif lama untuk berbolaknya hati manusia. Â Allahlah yang mengatur hati.