Beberapa bulan lalu banyak diskusi yang hulu-hilir mengenai perempuan sebagai calon Ibu. Diskusi ini sudah sampai pada perempuan sebagai aktor penting perubahan dalam suatu bangsa yakni dalam melahirkan seorang generasi yang berkualitas dalam hal pendidikan dan juga perempuan sebagai pemegang keutuhan dalam sebuah rumah tangga. Namun, tak sedikit pula komentar yang dilepaskan mengenai stigma dalam diri perempuan.
Sebagian dari masyarakat kita banyak yang masih menganggap bahwa perempuan tak memiki peran besar dalam masyarakat. Peran perempuan tak lebih dari seorang anak yang akan menjadi ibu dan seorang ibu yang hanya akan diam dan mengurus keperluan rumah. Sampai pada kesimpulan masyarakat patriarki yakni seorang perempuan tidak layak untuk berpendidikan tinggi.
Akan tetapi, jika melihat deskriminasi, stereotip yang masih terjadi dalam era modern saat ini bisa kita lihat, perempuan hari ini lebih memilih tutup kuping dan menghiraukannya. Mereka akan jauh lebih bersemangat untuk memperjuangkan hak pendidikan dan kesuksesan mereka. Dengan dibantu oleh motivasi-motivasi pada segala macam platform media sosial, mereka yakin bisa mencapai cita-cita mereka untuk kebanggaan orang tua dan kebahagian diri mereka sendiri. Maka tak heran jika mereka bisa bekerja keras dua kali lipat agar bisa mendapat beasiswa di luar negara.
Dari banyaknya perempuan-perempuan bangsa yang berhasil dan menginspirasi kita untuk terus berjuang dalam hal pendidikan, ada Maudy Ayunda, aktor, penulis, sekaligus aktivis yang menjadi salah satu tokoh inspirator. Menukil dari detikedu dimana saat menanggapi pertanyaan peserta Young On Top National Conference (YOTNC) 2024 di Balai Kartini, Jakarta, Sabtu (13/7/2024) Ia menegaskan bahwa “Pendidikan bukan bentuk membuang-buang waktu sekalipun nanti ia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, pendidikan itu juga tidak akan membuang-buang waktu. Karena tetap ada impak terhadap komunitas sekitar, kepada anak-anaknya. Impak perempuan itu luar biasa besar dari sisi itu.”
Disinilah poin utama yang sebenarnya akan kita bahas disini. Tujuan sebuah pendidikan tinggi bukan hanya sebatas bagaimana seorang perempuan akhirnya mampu sukses meraih segala impiannya, bukan juga sekedar menjadi seorang perempuan yang memukau dengan panjang gelar di belakang namanya. Akan tetapi juga tujuan dari seorang perempuan berpendidikan tinggi disini adalah menjadi seorang perempuan cerdas dan mencerdaskan, yang mana dikemudian hari ia bisa menjadi seorang ibu yang mampu memberikan pendidikan yang baik dan benar bagi anak-anaknya. Sehingga pertama kali yang tertanam dan menjadi dasar, pondasi dari seorang anak adalah tertanamnaya nilai-nilai kebaikan.
Seorang penyair Mesir ternama, Hafiz Ibrahim mengungkapkan “al Ummu Madrasatul Ula, izha a’adadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.”
الأم مدرسة الأولى, إذا أعددتها أعددت شعبا طيب الأعراق
“Ibu adalah madrasah yang pertama. Bila engkau mempersiapkan ia dengan baik, maka engkau telah mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.”
Disini dapat langsung kita fahami maknanya secara global bahwa seorang ibu adalah ‘madrasatul ula’ sekolah pertama, dimana kata ‘pokok pangkal’ disana berarti generasi penerus, anaknya. Seperti yang kita ketahui seorang ibu menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ibu menjadi pengajar pertama seorang anak dalam berbicara dan seorang ibu pula yang menjadi contoh dan teladan bagi anak-anaknya. Ketika seorang ibu itu baik maka pasti mengarahkan, mencontohkan dan mengajarkan sang anak kepada kebaikan. Dan begitupun sebaliknya.
Bahkan jika dilihat secara etimologi kata “madrasatu atau madrasah” yang berarti sekolah atau tempat seseorang mengenyam pendidikan dan al-Ula yakni “pertama/utama” dapat dimaknai bahwa seorang Ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya.