Mohon tunggu...
Rinaldi Abrakadabra™
Rinaldi Abrakadabra™ Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Anak muda

Anak muda yang rajin beribadah, sesungguhnya telah kehilangan masa mudanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kristenisasi dan Pemurtadan

18 Oktober 2015   09:36 Diperbarui: 18 Oktober 2015   12:57 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="PDF ternyata merupakan salah satu agama besar dunia. #LOL"][/caption]

ANDA yang sering dengar dakwah Islam, pasti pernah atau bahkan sering dengar kata ini: “Kristenisasi” dan “Pemurtadan”.

Ini kata provokatif yang menjadi momok di lingkungan muslim. Kata yang dapat membuat banyak muslim marah, jengkel, kesal dan benci terhadap unsur-unsur berbau “kristen”. Memangnya, apa sih arti kedua kata tersebut? Kenapa umat muslim begitu khawatir terhadap dua kata tersebut? Apakah kekhawatiran tersebut adalah hal yang wajar, atau sekadar bentuk paranoia umat saja karena menghadapi “kompetitor” dalam beragama? Saya tertarik untuk membahas soal ini.

Kedua kata tersebut mengacu pada suatu tindakan “mempengaruhi seseorang menjadi kristen”, “menyebarkan agama kristen”, atau “mempengaruhi seseorang untuk keluar dari Islam”, dan sebagainya.

Pertanyaannya: Apakah mempengaruhi seseorang untuk menjadi kristen atau menyebarkan keyakinan kristen (juga hal yang sama untuk keyakinan islam, hindu, buddha, dst) adalah sesuatu yang salah?

Menurut hemat saya, asalkan sekedar mempengaruhi dan menyebarkan pemikiran/ajaran agama, tanpa ada unsur paksaan dan ancaman, sebetulnya tidak ada yang salah. Terus, kenapa banyak muslim khawatir terhadap kristenisasi? Ini pertanyaan besar saya.

Bukankah setiap agama, termasuk Islam, juga disebarkan dengan cara-cara “sasi” semacam itu? Sadarkah bahwa sebenarnya Wali Songo pun melakukan “Islamisasi” terhadap Hindu-Buddha di Jawa?

Saya tidak beragama, ex-muslim, dan kini pemikir bebas saja. Sikap saya dalam hal ini, adalah mendukung upaya menyebarkan agama apapun dan tindakan mendakwahkan ajaran agama apapun ke luar umat, asalkan dilakukan dengan cara-cara yang fair. “Fair” dalam arti tidak ada unsur pemaksaan.

Saya tidak memeluk agama, tapi saya mendukung sikap orang untuk beragama dan berpindah agama, sejauh itu dilakukan secara damai, tanpa ancaman dan paksaan. Saya percaya bahwa yang membatasi kebebasan individu, adalah kebebasan individu lain. Oleh sebab itu saya tidak bisa menolak suatu individu untuk melakukan apapun, sejauh apa yang dia lakukan tidak merugikan, tidak memberangus kebebasan individu lain.

Mari kita buat simulasi kasus: Anggaplah saya muslim, dan suatu hari saya bertemu dengan X yang mendakwahkan agama kristen ke saya. Singkat cerita, saya kemudian tertarik memeluk agama kristen berkat si X ini. Terus, urusannya apa sama ormas Islam, MUI, atau masyarakat muslim pada umumnya? Apakah si X telah bersalah? Salahnya dia apa, lah wong dia tidak memaksa apa-apa sama saya, dan saya pun masuk kristen atas dasar wewenang bebas saya sendiri? Memangnya sebagai muslim, saya dilarang keluar dari Islam? Apakah “keluar dari Islam” adalah perbuatan kriminal di NKRI ini?

Anggaplah si X mengiming-imingi saya Toyota Alphard jika saya mau masuk kristen. Dan saya pun setuju tawaran si X. Apa juga urusannya dengan ormas Islam, MUI atau masyarakat muslim pada umumnya? Toh ini urusan saya dengan si X. Apapun alasannya, “pindah agama” asal dilakukan berdasarkan wewenang individu, bukan merupakan hal kriminal di NKRI.

Saya tidak setuju upaya-upaya penyebaran agama dengan paksa, dengan ancaman, dengan –misalnya—hipnotis dsb. Saya pernah membaca kasus-kasus “kristenisasi” dengan cara hipnotis di sebuah media dakwah Islam online bertahun-tahun yang lalu. Dan saya kira jika kalian muslim, kemungkinan besar kalian pernah membaca hal sejenis itu. Saya tidak percaya begitu saja dengan kasus-kasus semacam itu. Tapi jikapun itu benar, saya tidak setuju. Biarlah orang bebas menyebarkan agama, dan biarkan pula si individu memutuskan apakah tertarik dan memeluk agama baru tersebut atau tidak tanpa harus ada unsur paksaan dari pihak manapun. Saya pikir ini adalah aturan yang cukup fair, yang bisa diamini pihak umat beragama manapun yang berniat jujur dan baik.

Saya memiliki kesimpulan sederhana, bahwa kenapa banyak umat muslim begitu khawatir dengan “kristenisasi” dan “pemurtadan”, antara lain adalah karena faktor rasa iri kehilangan umat. Rasa sakit hati karena khawatir supremasi agamanya akan tercoreng dengan adanya umat yang berpindah agama. Juga rasa khawatir bahwa suatu ketika jumlahnya tak lagi mayoritas sehingga masyarakat kehilangan identitas primordialnya.

Ini adalah sikap inferior kelompok mayoritas (dalam hal ini muslim) terhadap kelompok minoritas. Tidak lebih dari itu. Rasa inferior semacam itu sangat mungkin terjadi pada umat beragama lain, semisal umat kristen di lingkungan tertentu dengan kadar fanatisme yang sama.

Realistis dan rasional sajalah. Pindah agama bukan tindakan kriminal, begitu pula menyebarkan agama. Tidak perlu merasa iri dengan umat lain yang menyebarkan agamanya dan kemudian berhasil mendapatkan pengikut baru. Semua agama pernah melakukan hal yang sama.

Setiap kelompok umat beragama berhak mempromosikan agamanya untuk mendapatkan pengikut baru. Tapi, tiap orang juga berhak dan memiliki wewenang penuh untuk memilih apakah dia mau ikut dengan agama yang dipromosikan tersebut atau tidak. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun