Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sirkus Makhluk Modern

6 November 2024   08:00 Diperbarui: 6 November 2024   08:10 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah kota bernama Konoha, waktu adalah sesuatu yang tak berharga. Lampu-lampu neon yang menyinari jalan-jalan selalu menyala, bahkan ketika malam mulai merayap dengan kabut tipis yang menggantung rendah. Jam digital raksasa yang terpasang di gedung-gedung pusat perbelanjaan terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu bukanlah sesuatu yang patut dihargai. Karena yang penting meningkatkan branding diri sebagai makhluk elit di kancah media sosial.

Waktu menunjukkan pukul 21:00. Malam itu dingin, tapi tak ada yang peduli. Di pusat kota Konoha, orang-orang masih sibuk berlalu lalang di antara toko-toko yang menyala terang. Mereka mengenakan mantel tebal dan syal, tetapi bukan untuk melindungi diri dari hawa dingin, melainkan sebagai simbol tren mode terbaru.

Di era yang makin gila ini, moral, empati, dan kemanusiaan sudah bukan menjadi hal penting. Semua diukur dengan apa pun yang menempel di tubuh. Mau bermoral baik, etika jempolan, dan pintar bersosialisasi, tapi tak ada barang branded, jangan harap mendapat respons positif dari masyarakat konoha.

***

Di salah satu toko elektronik, berdirilah sosok pemuda yang akrab di panggil Rian. Dirinya baru saja menyelesaikan sift malamnya di toko tempatnya mengais rupiah, yang terletak di sudut jalan utama. Ia bekerja di sana selama hampir dua tahun, tapi malam ini terasa berbeda. Matanya terasa berat, dan pikiran di kepalanya penuh dengan kebingungan. Kerlap-kerlip neon di sepanjang jalan yang bertebaran di depan toko malah makin membuat kepalanya berdentang-dentang.

Sore tadi, ada seorang ibu yang masuk dengan panik, bukan untuk mencari anaknya yang tak pulang selama berminggu-minggu.  Tetapi untuk mencari ayam peliharaannya yang belum pulang sejak pagi. "Anak ayamku! Apakah kamu tahu di mana dia?" seru si ibu dengan suara gemetar. Sungguh, sorot mata si ibu sangat menyiratkan rasa duka yang mendalam.

Mendengar ocehan si ibu tersebut, Rian hanya bisa tersenyum kaku dan menggelengkan kepala. Dalam hati, Rian membatin: Orang sekarang kok malah sibuk mencari dan mengejar harta-harta yang fana? Sampai-sampai kewarasan hilang. Bisa-bisanya bertanya soal ayam hilang ke toko elektronik.

 "Maaf, Bu. Kami hanya menjual gadget, bukan pelacak ayam," ucap Rian akhirnya.

Namun, pengalaman dan pikiran itu terus mengganggu Rian. Setelah keluar dari toko, ia berjalan melewati lorong pusat perbelanjaan yang masih ramai. Jam digital di atas toko pakaian menunjukkan pukul 21:15, tapi seolah-olah tidak ada yang peduli bahwa waktu sudah malam. Orang-orang terus bergerak seperti mesin, tanpa ekspresi, hanya mata mereka yang terus-menerus terpaku pada layar ponsel atau etalase kaca toko.

Langit malam di luar kota tampak seperti kegelapan yang tak terbatas, tapi di sini, di pusat kota Konoha, lampu-lampu terang menciptakan cahaya buatan yang menutupi langit berbintang. Rian merasa tersesat di antara lautan orang-orang yang tak pernah berhenti. Di antara langkahnya yang lambat, ia mendengar obrolan di sekitarnya.

"Sudah dengar? Seekor ayam hilang dari kota sebelah. Itu ayam mahal, mungkin dicuri," ucap si wanita berjaket biru, sambil menunjukkan postingan sosial media yang ada di gadgetnya. Lalu ia sodorkan gambar itu ke kawannya.

"Ayam yang itu ya? Oh, aku lihat beritanya tadi. Tapi, kasihan ya, anak si ibu itu juga belum pulang-pulang. Hilang sudah lama."

"Ayahnya katanya masih sibuk kerja, dan ibunya baru tahu setelah seminggu karena sibuk ngerawat ayamnya."

Rian merasa perutnya bergolak. Kok bisa masalah si ibu tadi telah menjadi berita viral di saentro Kota Konoha. Bagaimana bisa ayam lebih dicari daripada anak sendiri? Di antara gedung-gedung yang penuh iklan dan promosi, orang-orang tampaknya lebih peduli pada hal-hal yang menempel di tubuh mereka. Obrolan tadi hanya menjadi selingan dari mereka yang gemar berburu diskon, promo, dan info barang murah kualitas yahut.

Sepuluh menit kemudian, orang-orang tadi sudah beralih membahas pembukaan salah satu situs belanja online. Mereka kini asik membahas barang-barang promo yang didiskon besar-besaran. Masalah si ibu, ayam, dan anak hilang---sudah menghilang terbang bersama angin semu yang fana.

***

Rian mempercepat langkahnya. Ia ingin keluar dari hiruk-pikuk kota ini, meski hanya untuk sejenak. Tanpa sadar, ia berjalan hingga tiba di pasar tua di bagian luar kota. Pasar ini berbeda, sunyi, penuh dengan bayangan-bayangan kios yang sepi. Jam dinding tua di sana menunjukkan pukul 22:00. Suasana malam di pasar tua ini benar-benar kontras dengan pusat kota yang selalu hidup. Angin dingin menderu lembut, membawa aroma nostalgia dari masa lalu yang telah lama ditinggalkan oleh modernitas.

Di sini, lampu-lampu berwarna kuning temaram masih menggantung dari tiang-tiang besi tua. Orang-orang yang berkumpul di sini adalah manusia yang sudah lelah dengan kehidupan kota. Mereka berjalan perlahan, berbicara dengan nada pelan, tak terburu-buru. Namun, tiba-tiba, suasana damai itu terganggu. Rian mendengar suara aneh, seperti gemuruh, yang datang dari kejauhan.

Saat hendak mencari sumber suara, tak sengaja kaki Rian tersandung kayu meja lapak jualan. Suasana tak terlalu terang membuat dirinya tidak fokus. Sekejap kemudian, bibir Rian mencium genangan air bekas cucian daging yang menggenang di samping meja itu.

"Sialaan!" umpat Rian. Kepalanya lagi-lagi berdentang-dentang. Rasa pusing kini kembali menjalar mencabik-cabik saraf di kepala. Saat berusaha menenangkan diri, di antara pandangan yang masih berputar-putar, munculah sinar yang menyilaukan mata.

Lalu, tanpa peringatan, sebuah panggung besar muncul di tengah pasar tua. Tirai merah tebal berkibar-kibar, seakan menari di bawah sorotan lampu yang tak jelas dari mana datangnya. Di atas panggung itu berdiri seorang pria bertubuh besar, mengenakan mantel hitam panjang dan topeng emas yang berkilau. Suara tawa menggema dari arah pria bertopeng, tajam dan penuh tipu daya.

"Selamat datang di Sirkusmanusia modern. Barang, kasta, dan uang adalah segalanya!" seru pria itu dengan suara berat, mengguncangkan tanah-tanah pasar.

"Kami di sini untuk menyenangkan kalian, para pemburu barang! Datanglah, beli lebih banyak, dan saksikan bagaimana hidup kalian berubah menjadi tontonan yang tak pernah berakhir!" ucapnya lagi dibarengi gelak tawa sinis.

Tak berselang lama, Sekelompok makhluk abu-abu mulai berkumpul di bawah panggung. Di tangan mereka tergenggam uang yang entah berapa jumlahnya. Sebagian nampak membawa kartu kredit. Ada juga yang menggunakan gadget  untuk scan kode Qris yang ada di atas panggung.

Wajah mereka datar, tanpa ekspresi, hanya mata mereka yang tampak kosong, seperti orang-orang di pusat perbelanjaan. Mereka memegang tas belanja, gadget, dan barang-barang lainnya yang tampaknya mereka beli dengan penuh nafsu. Namun, semakin banyak mereka menambah barang ke genggaman mereka, tubuh mereka semakin mengecil, perlahan-lahan larut ke dalam barang yang mereka bawa. Manusia tak lebih berharga dari pada barang yang mereka beli.

Rian merasa dadanya sesak. Suasana pasar yang awalnya damai berubah mencekam. Suara-suara tawa semakin keras, sementara bayangan pria bertopeng itu semakin besar, menelan seluruh pemandangan di hadapannya.

Di tengah kekacauan itu, Rian melihat seorang ibu yang berdiri di antara kerumunan. Itu ibu yang tadi siang mencari ayamnya. Kini, di tangannya, ia memegang gadget baru yang tampak mengilap. Wajahnya memudar, larut ke dalam benda yang ia genggam, tapi di seberang jalan, seorang anak kecil berdiri di sana, menatap ke arah si ibu dengan tatapan kosong dan menangis.

Anak itu bukan siapa-siapa bagi Rian, tapi entah kenapa pemandangan itu menghantam hatinya. Sementara sang ibu larut dalam harta, brand, dan kemewahan,  anak kecil itu ditinggalkan, tak tersentuh. Ia dibiarkan menangis menjerit-jerit di pojok.

"Ibuuuuuuu!" teriak si anak berusaha menggapai tangan si ibu yang masih asik dengan gadget  di tangan, Seolah tak mendengar apa-apa.

***

Rian mencoba bergerak, tapi tubuhnya terasa ditarik oleh kekuatan yang tak kasat mata, seolah-olah ia sendiri mulai larut dalam "sirkus Manusia Modern"yang sedang berlangsung. Di tengah rasa paniknya, ia melihat seorang perempuan tua duduk di pojok pasar. Tatapannya tenang, tapi penuh makna.

"Apakah kau ingin keluar dari sini?"tanya perempuan itu lembut, tanpa ekspresi.

RRian mengangguk, meski dadanya sesak. "Bagaimana caranya?"

Perempuan itu tersenyum samar, lalu menjentikkan jari. "Kau harus memilih, sebelum terlambat."

Di hadapan Rian, muncul pintu kayu tua yang tampak rapuh. Ia meraih gagangnya dan membukanya tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, ia tersedot kembali ke dunia nyata, berdiri kembali di jalanan tepat di tengah lorong pasar. Wajahnya masih basah berkat kubangan di sebelah kanannya. Pelipis Rian juga nampak mengeluarkan darah dari luka robek kecil di dahi sebelah kiri.

"Sirkus Makhluk modern sialan!" umpat Rian yang tak sadar kalau dirinya sendiri adalah bagian dari sistem modern itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun