***
Deraian tawaku dan Ucup belum usai. Melihat Sarjono yang masam wajahnya, membuat rasa geli di perut semakin tak karuan. Sunyi dan dinginya malam tak lagi terasa. Bahkan, akibat ulah kami, ayam yang biasa berkokok di atas genting gapura hanya terdiam. Mungkin ia membatin "Dasar monyet gila".
"takkan kubiarkan sedikitpun racikan surga ini jatuh," kembali Sarjono mulai berceloteh.
Memang kebiasaan santri. Ketika makan dan ada remah yang jatuh, bila tidak kotor, dengan segera iambil, untuk dimakan lagi. Aku dan Ucup tak menghiraukan celotehanya. Hanya sesekali menimpali untuk menggojloknya.
"Weleeh! Ini biasa saja Jhon. Â Tempe benguk ya tetap seperti ini di mana pun" sambar ucup.
"Wis kalau tidak tahu mendign diem ngapa. Ganggu suasana!" Â Tandas Sarjono. Ucup pun hanya nyengir mendengar gerutuan itu.
Tempe benguk terbuat dari kedelai yang besar-besar. Saat dimasak olahan baceman, maka permukaan kedelai akan menghitam. Tak selang lama, tiba-tiba Sarjono merasa ada yang jatuh disarungnya. Tanpa melihatnya, cuek saja ia masukan kembali barang itu kemulut.
"Piyuh, piyuh, piyuhh. . Hakkkhhhhhh!" teriak Sarjono sambil merogoh mulutnya.
"Astaghfirullah, minggat ora kamu! Hayoooo, segera keluar. Tak bakar kamu nanti," ujar Ucup sambil memegang kepala sarjono.
"Hekhhhh, klukklukklukkluk. wekh,wekh,wekh!" kembali Sarjono berulah dengan melompat-lompat sambil membungkukan badan.
Aku dan Ucup bingung dibuatnya. Segera, kubaca ayat kursi. Ucupun kembali memegang umbun-umbun Sarjono. Kembali ia berteriak sama persis dengan sebelumnya. Tak lama, jono memuntahkan isi perutnya. Setelah lega, ia duduk menjeplak begitu saja.