Â
Â
Sarjono masih saja memegangi perut. Mulutnya terus saja mangap-mangat seperti ikan. Sebenarnya, aku kasihan juga padanya. Sudah beberapa menit lalu kubantu mengoleskan minyak ke tengkuknya dan memberinya wedang jahe.
"Halah kang!Cuma masalah begitu saja kok  mukamu jadi kayak pantat panci," sindir ucup.
"Kamu tak merasakan ya? Ini luar biasa. Berbagai sensasi aneh masih membekas jelas" ujar Sarjono sambil melotot ke Ucup.
"Hehehehehe. . tawadlu boleh, kang! Tetapi ya dilihat-lihat dahulubarangnya," kembali Ucup menimpali dengan plengah-plengeh.
Mendapati kelakuan mereka, aku hanya bisa ikut tersenyum. Ruangan berdinding hijau ini tampak ramai meski jam sudah  pukul 00.00, karena para santri masih ada yang mengaji, belajar, wiridan di mimbar dan aktivitas lembur yang lain. Gemericik teratur dari pancuran di tempat wudlu yang langsung iambil dari mata air yang disalurkan oleh bambu, menjadi harmoni tersendiri.
"sudah-sudah! Yang waras mengalah," saranku.
"aku yang waras!" sahut Sarjono.
"widiiw! Ya Aku lah. Wong yang masih makan dengan benar ya Cuma aku sama Samsul," bantah Ucup tak mau kalah.
 "dasar gendeng semua!" sungutku sambil berlalu meninggalkan dua makhluk tidak jelas yang kini tengah beradu mulut.