Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Memaksa Diri Berjuang, di Tengah Kehidupan yang Suka Bercanda

5 Oktober 2024   15:00 Diperbarui: 5 Oktober 2024   15:10 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Menjalani hidup tentu akan banyak hal yang bisa direncanakan. Namun, anehnya ndak jarang pula, berbagai rencana itu mleset di luar kuasa kita sebagai orang biasa. Soal keluarga, persahabatan, pendidikan, bahkan juga realitas sekitar kita.

Baru-baru ini saya mengalami jungkir balik kehidupan yang rasanya kayak roller coaster, tapi tanpa sabuk pengaman. Kadang bikin nyengir sambil berkata, "Hidup memang lucu ya?", kadang bikin merengut, dan nggak jarang bikin ketawa getir sambil melirik langit, berharap ada helikopter yang bisa datang menjemput. Hidup, ya, begitu lah. Sudah ditakdirkan jadi orang dengan hambatan visual, anak pertama, ditambah tuntutan keluarga, dan masih juga harus survive di atas planet yang penuh kejenakaan ini.

Skripsi yang Bikin Gigit Jari

Kerunyaman ini dimulai lagi saat keruwetan dosen atas proposal skripsi yang bikin puyeng. Seolah-olah ingin menenggak obat puyer yang dijual di warung-warung kelontong. Namun, apakah setelah meminum obat itu, lantas masalah akan hilang juga? Tentu tidak. Harus memaksa diri tetap tersenyum, tegar, seolah-olah kuat, dan harus mampu menyembunyikan kerapuhan yang setia menyelimuti pribadi yang biasa-biasa saja ini.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk tetap berjuang. Ya, tentu. "BERJUANG" yang mana di dalamnya tentu bukan berisi kado piknik ke Dufan, vocer murah Indomaret, mau pun hal-hal seru lainnya. Akan tetapi sebuah rasa lelah, runyam, sakit, dan sebagainya. Di mana kesemuanya itu bila dipikir-pikir lagi, sebenarnya akan membentuk pribadi yang lebih kokoh.

Perlahan tapi pasti, keputusan demi keputusan saya ambil. Mencari alternatif tema, judul, dan berkomunikasi dengan banyak orang untuk mendapatkan kajian yang sesuai dengan jurusan saya di kampus. Hmmmm. Semua itu tentu dijalani sebagai pria buta yang berteman setia dengan tongkat putih.

"Kamu harus berjuang untuk masa depan yang lebih baik!"

"Kalau mau malas-malasan, silahkan. Tapi silahkan nikmati juga kemiskinan yang pasti terjadi kalau dirimu itu malas secara profesional.."

begitulah beberapa afirmasi yang saya gunakan untuk melecut diri tiap merasa lelah dengan tiap vase perjuangan. Tidak enak memang. Tetapi ya, itu lah yang haru sdilewati. Saya bukan terlahir sebagai anak orang kaya, penuh kesempurnaan fisik, dan sejenisnya. Tapi saya menyadari kalau dengan kebutaan ini, berarti saya harus berkali-kali lipat untuk berjalan dalam tiap langkah perjuangan.

Menggeluti Sebagai Kuli Aksara

Waktu terus berjalan. Mulai tantangan ekonomi, sudah tidak mendapat suport keuangan dari orang tua, dan para sahabat dekat yang mulai menjauh. Hal-hal tadi membuat saya akhirnya memutuskan untuk menguatkan skill kepenulisan.

Tahun 2022 menjadi tonggak awal cerpen saya diterima di media umum. Yaitu duniasantri.co dengan judul "Kilat Golok Pejuang." Namun, waktu itu hanya sebatas untuk unjuk gigi. Setelah sadar kalau saya memang harus memiliki skill, makanya waktu itu saya gunakan untuk menulis, membaca, membaca, membaca, menulis, membaca, membaca, membaca, menulis.

Tidak gampang memiliki karya yang dapat di muat di media masa. Namun, ketekunan, menikmati siksa perjuangan, dan proses, akhirnya membuat tulisan-tulisan saya terbit di mojok.co, anakpanah.id, duniasantri.co, solidernews.com, dan sebagainya. Apakah selesai cobaan hidup saya? Tentu tidak!

Harus kembali turun dalam dunia realita, skripsi yang masih nggantung, kawan-kawan dekat yang mulai asik dengan cewek dan kesibukannya, dan orang tua yang mulai mencurahkan kasihnya ke adik-adik saya. Tentu itu menjadi beban moril lagi. Saya harus menerima perjuangan jadi anak pertama, difabel netra, dihantam stigma, dan sebagainya. Ya, sudahlah.... Mungkin memang itu yang Tuhan inginkan.

Bukan Menuntut Kehidupan, Tapi Menikmati Alur Waktu Kehidupan

Menyikapi hal-hal di atas, akhirnya setelah semedi beberapa waktu, saya memutuskan untuk menikmati saja apa yang terjadi. Toh, apa pun yang kini ada di hadapan saya, saya tidak bisa merubah semuanya. Hanya soal-soal pribadi lah yang bisa saya ubah. Disiplin, mulai terus berkarya, mengacuhkan stigma, dan menguatkan mental sebagai difabel netra.

Persetan dengan sahabat yang sudah asik dengan dunia barunya, orang tua yang melepaskan saya sebagai anak yang sudah dipandang dewasa, pikiran buyer mikir skripsi, dan memperbanyak profesional etos kerja. Nikmati, nikmati, nikmati. Tuhan Pasti akan membukakan jalan. Entah kapan. Bisa satu hari, minggu, bulan, bahkan tahun.

Fokus saja mengembangkan diri. Kerjakan yang dekat terlebih dahulu dan lagi-lagi nikmati saja prosesnya. Meski pahit, lapar, bingung, ragu, dan stres terus mencumbu tanpa jeda. Saya akan terus berjuang wahai Semestaaaa! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun