Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Gempa Dan Panik: Hadapi Megathrust, Yogyakarta Harus Apa?

30 September 2024   10:29 Diperbarui: 30 September 2024   10:32 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita semua tahu, Yogyakarta itu terkenal bukan hanya karena Malioboro, bakpia, atau keraton. Tapi juga karena gunung dan gempa. Jogja itu terletak di pertemuan lempeng tektonik yang secara historis rentan terhadap bencana gempa besar. Beberapa waktu terakhir, istilah megathrust terus menghantui pikiran warga. Apa itu megathrust? Ya, singkatnya, ini adalah skenario gempa besar yang berpotensi meluluhlantakkan wilayah pesisir selatan Indonesia, termasuk Jogja.

Belakangan ini, Yogyakarta sering banget kedatangan tamu tak diundang, yaitu gempa. Meski skalanya nggak bikin gedung roboh, tetap saja bikin jantung deg-degan. Nah, pada 26 Agustus 2024 kemarin, Jogja lagi-lagi digoyang gempa, kali ini dengan magnitudo 5.8. Pusatnya di laut, sekitar 95 km dari barat daya Gunungkidul, dengan kedalaman 30 km. BMKG bilang, gempa ini sih berasal dari pergerakan lempeng di zona megathrust selatan Pulau Jawa, yang artinya daerah ini masih super aktif secara seismik. Lokasinya yang tepat di zona megathrust juga kayak ngingetin kita kalau potensi gempa besar di masa depan tuh bener-bener nggak bisa dianggap sepele.

Ehh.. tahu-tahu si tamu datang lagi pada awal September 2024 kemarin. Gempa kecil tapi cukup bikin beberapa orang di Jogja dan sekitarnya mikir, "Wah, apa ini pertanda megathrust?" Ya, gempa yang datang gara-gara pergerakan lempeng di selatan Jawa itu memang nggak terlalu besar. Tapi, seperti pengingat halus, gempa ini bikin kita kembali waspada soal potensi megathrust yang, kata para ahli, bisa muncul kapan aja.

Menurut siaran pers resmi BMKG yang disebar lewat Dinas Lingkungan Hidup Kulon Progo, skenario gempa megathrust ini bukanlah ramalan pasti kok, lebih kayak skenario terburuk yang dipakai buat bikin kita semua lebih siap. Namun, pertanyaannya: Apakah kita siap?

Berhadapan dengan Megathrust

Bayangkan ini: Jogja, yang nyaman dengan irama hidupnya yang santai, tiba-tiba diguncang oleh gempa berkekuatan dahsyat. Lalu, setelah itu muncul tsunami. Terasa seperti adegan dari film Hollywood, bukan? Tapi ini bukan sekadar cerita. Potensi gempa megathrust, yang bisa mencapai magnitudo 8 hingga 9, benar-benar mengancam. Bahkan, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah berkali-kali mengingatkan soal potensi gempa besar di selatan Pulau Jawa. Namun, pertanyaan utama adalah, sejauh mana kita siap menghadapi skenario buruk ini?

Jogja punya sejarah panjang dengan gempa. Yang paling diingat tentu saja gempa tahun 2006, yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan banyak bangunan. Waktu itu, banyak yang panik. Namun, apakah setelah pengalaman pahit itu, warga Jogja sudah belajar? Apakah Jogja sudah lebih siap menghadapi bencana alam besar seperti megathrust?

Siapa yang Siap, Siapa yang Panik?

Kalau kita jalan-jalan ke pusat kota, mungkin bakal lihat papan petunjuk evakuasi. Bagi yang sering ke pantai selatan, seperti Parangtritis, pasti tahu kalau sekarang ada menara sirine tsunami. Bagus, setidaknya itu langkah awal. Tapi, apakah cukup?

Di tingkat masyarakat, kesadaran akan kesiapsiagaan bencana masih rendah. Banyak yang belum tahu jalur evakuasi, bahkan tidak sedikit yang tidak paham tindakan pertama yang harus dilakukan saat gempa terjadi. Hal yang paling sederhana, misalnya soal drop, cover, and hold on saat gempa terjadi, masih sering diabaikan. Di sekolah, simulasi gempa mungkin hanya dilaksanakan sesekali. Padahal, inilah yang harusnya menjadi hal yang rutin dilakukan.

Pemerintah daerah memang sudah mulai mengambil langkah. Program mitigasi bencana telah digalakkan di beberapa wilayah. Tapi, program ini seringkali mandek di tataran kebijakan, dan belum sepenuhnya membudaya di kalangan masyarakat. Tak jarang, kita merasa lebih khawatir soal harga tempe yang naik daripada latihan evakuasi gempa yang nyaris tidak pernah kita lakukan.

Kota Bersejarah, Ancaman yang Mengancam

Yogyakarta dengan segala kekayaan sejarah dan budayanya, ironisnya, menjadi salah satu wilayah paling rentan. Kawasan Sumbu Filosofi, yang meliputi Keraton hingga Tugu Jogja, adalah daerah yang harus dilindungi. Dalam konteks mitigasi bencana, area ini menjadi sorotan karena daya tarik turis yang tinggi. Bayangkan jika bencana datang saat ribuan wisatawan memadati area ini. Sumbu Filosofi bukan hanya soal sejarah, tapi juga simbol peradaban. Apakah kita rela simbol peradaban ini hancur tanpa ada langkah antisipasi yang serius?

Belakangan, pemerintah daerah mulai memetakan risiko dan mengidentifikasi bangunan-bangunan yang rentan. Namun, seberapa cepat kita bisa mengamankan Jogja dari bencana besar? Pembangunan infrastruktur tahan gempa memang penting, tapi yang lebih penting adalah kesadaran bersama. Warga Jogja perlu tahu bahwa gempa bukan soal kalau terjadi, tapi soal kapan terjadi. Ini seperti menunggu tamu yang tak diundang.

Dari Panik Menuju Siap

Jogja, dengan segala potensi bencananya, seharusnya sudah lebih siaga. Tapi, kesiapan bukan hanya soal alat-alat canggih atau kebijakan dari atas. Kesiapan itu soal mental dan budaya. Apakah kita sudah siap secara mental untuk menghadapi gempa megathrust? Apakah kita sudah membudayakan kesiapsiagaan di rumah, sekolah, kantor, dan tempat-tempat umum?

Kesiapsiagaan menghadapi megathrust bukan cuma tugas pemerintah. Ini tugas kita semua. Pemerintah memang bisa menyediakan sirene tsunami dan jalur evakuasi. Tapi, jika warganya masih panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, sirene itu hanya menjadi alat yang bising, tanpa fungsi.

Yogyakarta yang kita cintai ini berada di garis depan potensi bencana besar. Kita semua tahu ini. Namun, alih-alih terjebak dalam kepanikan dan ketakutan, kita harus beralih menjadi masyarakat yang siap siaga. Menghadapi megathrust bukan hanya soal bertahan, tapi soal bagaimana kita bersama-sama meminimalisasi risiko dan memperkuat diri. Karena Jogja bukan sekadar kota wisata. Jogja adalah rumah kita, dan rumah harus kita jaga.

Jadi, sudah siapkah kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun