Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Begini Rasanya Jadi Guru Ekstrakurikuler di MTS!

15 Agustus 2023   14:53 Diperbarui: 15 Agustus 2023   14:58 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Itulah salah satu sterotipe yang di lekatkan pada profesi "Guru". Apalagi kalau menjadi guru di sebuah madrasah Sanawiah (MTS), setingkat SMP tapi versi Islami. Wuiih! Lengkap nian pengabdian dan emban yang harus di tanggung. Soalnya harus bisa seimbang antara ilmu duniawi dan ilmu agamanya.

Menekuni profesi guru berarti harus siap dengan segala kondisi. Entah murid yang begajulan, susah diajak berkompromi saat KBM (kegiatan belajar mengajar) berlangsung, dan harus mau menciptakan metode ajar yang harus di sesuaikan dengan karakter murid. Sungguh tidak ringan. 

Perkerjaan seberat itu, ironinya di klaim sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Menurut saya, harusnya profesi guru itu malah menjadi bidang yang harus di perhatikan. Dan bagusnya adalah guru merupakan pahlawan yang perlu diberi tanda jasa. Biar mereka mendapat pandangan yang lebih diperhitungkan.

Nah, Belum lama saya diberi amanah oleh salah satu MTS di daerah Sleman untuk mengajar Ekstrakurikuler. Tepatnya yaitu ekstrakurikuler  hadrah. Ini berawal dari kegemaran saya di bidang kesenian musik religi, yaitu hadrah/selawat. Sebuah kesenian yang menggunakan alat musik rebana dan nyanyian selawat sebagai lagunya.

Bermula dari Ikut UKM di Kampus

Saya menekuni kesenian hadrah sudah sejak kelas 4 SD. Semua itu saya nikmati prosesnya. Mengenal alat, ketukan, dan sejenisnya yang terkait dari kesenian ini. Hingga, saat masuk di bangku kuliah, saya memutuskan untuk mengikuti unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yaitu Al Mizan Uin sunan kalijaga.

Di Al Mizan, saya masuk divisi selawat. Saya resmi menjadi anggota pada 2021. Banyak story dan perjuangan saya lalui. Latihan, diskusi, show, dan lain-lain. Hingga pada awal 2023 saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar di salah satu MTS di Sleman, sebagai pengajar ekstrakurikuler hadrah.

Mengajar pada kondisi murid sudah lelah

Sewaktu pertama kali menginjak halaman Mts, saya di sambut langsung oleh wakil kepala sekolah. Mereka menginformasikan kalau hadrah di Mts ingin kembali di hidupkan. Karena selama covid, aktivitas ekstrakurikuler itu tidak ada.

Kondisi lapangan yang saya temui, rata-rata yang ikut ekstra ini hanya karena bermodalkan coba-coba. Sedikit sekali yang memiliki pengalaman mengikuti majelis ataupun grup hadrah. Mungkin dari 10 6 di antara siswa/siswi yang ikut, itu belum pernah terjun di kesenian ini.

Tuntutan untuk menghidupkan itu pertamanya saya kira akan mudah. Ternyata tidak! Bagai mana tidak? Kelas ekstrakurikuler itu di mulai pada pukul 14.15 WIB, tepat saat jam pulang sekolah. Di sini, Saya harus mengajar dari basic. Tentang pengenalan alat, cara memegang alat, dan teknik memukul, tapi dalam kondisi siswa itu sudah lelah. Banyak kejadian bolos, tidak fokus, dan saya berulang kali memutar otak, tapi ya itu. Kalau tubuh lelah memang obatnya istirahat. Bukan malah mikir lagi. Tapi tuntutannya adalah hadrah harus hidup plus sewaktu-waktu di minta tampil, itu harus siap. Sedangkan kondisi belajarnya kayak gitu. Gimana saya ndak pusing?

Guru Ekstrakurikuler, serasa guru di kelas formal

Selanjutnya, adalah tuntutan kerja. Di sini saya merasakan kondisi mengajar yang selayaknya dilakukan oleh guru formal. Yang mana seharusnya guru ekstrakurikuler itu mendampingi proses dan minat siswa/siswi, tetapi harus tetap mengedepankan hasil dan indikator yang harus di capai.

Selain itu, bisa di bayangkan kalau perkerjaan seberat itu masih di pandang remeh. Sudah pasti komplet semua beban yang di rasakan. Belum lagi, terkadang dari pihak sekolah juga agak kurang soal pemantauan siswa/siswi. Mereka tahunya intinya dibayar, maka semua harus beres. Sedangkan konsep belajar itu tidak seperti itu. Semua elemen baiknya saling mendukung.

Teror Untuk Ikut Lomba, Tapi respons Siswanya biasa aja

Terakhir adalah prihal didatangkannya guru ekstrakurikuler  itu harapannya bisa membawa siswa/siswi mewakili sekolah untuk maju ke ajang perlombaan. Apa pun tingkatanya. Kecamatan, Kabupaten, bahkan nasional. Hal seserius ini, sulit apabila hanya di sadari oleh guru ekstrakurikuler. Sedangkan di sekolah yang saya ampu itu, para siswanya menjurus ke seenak jidat mereka. Para siswa datang seolah tanpa ada niat untuk mengikuti ajang perlombaan.

Belum lagi teror dari sekolah yang menanyakan kesiapan untuk mengikuti perlombaan. "Mas, anak-anak siap belum?" itu contoh pertanyaan yang sering saya dapatkan. Tapi, ya itu. Anak-anak tidak ada gairah, sekolah jarang melakukan evaluasi, dan kami (Guru ekstrakurikuler), tetap di tuntut untuk mengajar siswa hingga lomba.

Apakah setelah ini profesi "Guru," akan tetap di cap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Sesimpel sebagai guru ekstrakurikuler saja, itu pusingnya kayak dikejar-kejar dead colektor. Apalagi mereka-mereka yang menjadi tenaga pengajar tetap. Yang harus setiap hari menghadapi anak-anak orang.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun