Guru Ekstrakurikuler, serasa guru di kelas formal
Selanjutnya, adalah tuntutan kerja. Di sini saya merasakan kondisi mengajar yang selayaknya dilakukan oleh guru formal. Yang mana seharusnya guru ekstrakurikuler itu mendampingi proses dan minat siswa/siswi, tetapi harus tetap mengedepankan hasil dan indikator yang harus di capai.
Selain itu, bisa di bayangkan kalau perkerjaan seberat itu masih di pandang remeh. Sudah pasti komplet semua beban yang di rasakan. Belum lagi, terkadang dari pihak sekolah juga agak kurang soal pemantauan siswa/siswi. Mereka tahunya intinya dibayar, maka semua harus beres. Sedangkan konsep belajar itu tidak seperti itu. Semua elemen baiknya saling mendukung.
Teror Untuk Ikut Lomba, Tapi respons Siswanya biasa aja
Terakhir adalah prihal didatangkannya guru ekstrakurikuler  itu harapannya bisa membawa siswa/siswi mewakili sekolah untuk maju ke ajang perlombaan. Apa pun tingkatanya. Kecamatan, Kabupaten, bahkan nasional. Hal seserius ini, sulit apabila hanya di sadari oleh guru ekstrakurikuler. Sedangkan di sekolah yang saya ampu itu, para siswanya menjurus ke seenak jidat mereka. Para siswa datang seolah tanpa ada niat untuk mengikuti ajang perlombaan.
Belum lagi teror dari sekolah yang menanyakan kesiapan untuk mengikuti perlombaan. "Mas, anak-anak siap belum?" itu contoh pertanyaan yang sering saya dapatkan. Tapi, ya itu. Anak-anak tidak ada gairah, sekolah jarang melakukan evaluasi, dan kami (Guru ekstrakurikuler), tetap di tuntut untuk mengajar siswa hingga lomba.
Apakah setelah ini profesi "Guru," akan tetap di cap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa? Sesimpel sebagai guru ekstrakurikuler saja, itu pusingnya kayak dikejar-kejar dead colektor. Apalagi mereka-mereka yang menjadi tenaga pengajar tetap. Yang harus setiap hari menghadapi anak-anak orang.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H