Bos Nadhir spontan menolehkan wajahnya kearahku. Tak lama kemudian tawanya lepas sambil menggebrak meja dengan keras.
"Halah! Tembakau tengik saja dibeli Tono. Hahahah,"
Tubuh gembul itu mendadak berdiri. Ia melangkah ke ujung pagar rumah. Dengan mata berkilat, ditatapnya kapal dagang VOC yang baru saja lewat lagi.
"Dasar londo gendeng! Kapan kalian itu mau sadar kalau sudah banyak tindakan kalian yang menyusahkan rakyat," teriaknya lantang sambil memukul tiang rumah.
Setelah puas mencaci londo yang untung saja tidak dengar, ia berjalan mendekatiku dan menjabarkan pelayaran kali ini. Ia mengungkapkan ada barang yang harus diantar ke Pulau Sumatra. Matahari tampak remang saat Bos Nadhir pamit untuk menyiapkan kapal. Ia menyuruhku untuk mengajak Sudiro, Warno, dan Sulaiman untuk menjadi ABK pelayaran.
***
Dengan wajah yang sudah banjir keringat , aku, Sudiro, Warno, dan Sulaiman, tanpa lelah mengangkat peti-peti rempah ke atas kapal. Rasa pegal di punggung berubah menjadi kebas,  Akibat  beban yang sangat berat. Dari sini, rembulan sedikit lagi akan menyamai umbun-umbun.
"Kang Tono!" panggil Sudiro. Aku pun sejenak menghentikan aktifitas mengikat peti dan mengarahkan wajah ke bawah dimana ia berada.
"apa tidak berbahayajika lewat laut utara? Kapal Voc sekarang cukup menguasai medan ini. Belum lagi jika mereka merasa terganggu, bisa dimeriam kita." Mendengar penuturan karibku itu, benakku penuh dengan kekhawatiran. Benar juga! Â Tapi perencanaan sudah dilaksanakan matang.
"Iya, aku juga khawatir. Tapi Bos Nadhir pasti sudah memikirkan jalan keluarnya," ucapku. Melihat Sudiro yang tampak termenung, segera kembali kuikat beberapa peti yang tersisa. Lantas turun bergabung dengan klasi yang lain.
"Gimana kang tono? Sudah selesai mengikatnya?" tanya Sulaiman. Mendapat pertanyaan itu aku hanya menganggukan kepala dan segera menerima uluran Jahe hangat darinya.