Mohon tunggu...
Vunny Wijaya
Vunny Wijaya Mohon Tunggu... Human Resources - Analis/Pemerhati Kebijakan Publik - Peneliti Sosial

Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia'17 I ISS Sungkyunkwan University, Korea Selatan'18 I Sosiologi Pembangunan Universitas Negeri Jakarta'09

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengenal "Science of Muddling Through" dalam Kebijakan Publik

13 April 2023   07:00 Diperbarui: 17 April 2023   15:13 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilihan Model Kebijakan Publik (Gambar: Freepik.com)

Kebijakan publik memiliki posisi yang sangat strategis dalam kehidupan berbangsa. Thomas Dye (2003) mendefinisikan kebijakan publik sebagai apapun yang dilakukan maupun tidak dilakukan oleh pemerintah. Penjelasan yang begitu sederhana, tetapi tidak mudah dilakukan.

Lebih jauh, Cairney (2002) menjelaskan bahwa kebijakan publik begitu penting karena ruang lingkup negara yang meluas ke semua aspek kehidupan masyarakatnya. Namun, ini adalah salah satu dari banyak istilah terkenal dalam ilmu politik, seperti demokrasi, kesetaraan dan kekuasaan.

Menurut Laswell (1951), terdapat tiga karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan publik, yaitu multidisiplin, pemecahan masalah, dan normatif eksplisitas atau explicity normative yang menekankan pada kegamblangan kebijakan.

Dalam praktiknya, kebijakan publik memiliki sejumlah model. Model kebijakan adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu (William Dunn, 2013).

Tren model analisis yang dipakai diantaranya adalah model kelembagaan/institusional, kelompok, rasional, inkremental, sistem, dan elit. Model inkremental adalah model yang paling sering dipakai.

Model inkremental atau model tambal sulam dirumuskan sebagai jawaban atas kekurangan model kebijakan rasional. Charles Lindblom adalah tokoh di balik model ini. Lindblom menyebut model ini dalam paper-nya berjudul "Science Of Muddling Through" - Keputusan Mengubah Sedikit Demi Sedikit.

Beberapa situasi melatarbelakangi penggunaan model ini. Pertama, terjadi ketika pembuat kebijakan gagal mengumpulkan dan memahami semua informasi yang dibutuhkan untuk memilih opsi terbaik untuk mencapai tujuan kebijakan. 

Kedua, pembuat kebijakan tidak berencana merancang proses yang sama sekali baru, tetapi hanya membuat perubahan tambahan untuk kebijakan yang sudah ada.

Lebih jauh, ketiga, jika pembuat kebijakan tidak bersedia untuk terus-menerus meninjau kembali kebijakan yang telah dibuatnya dan hanya melakukan penambahan. 

Ilustrasi Pemilihan Model Kebijakan Publik (Gambar: Freepik.com)
Ilustrasi Pemilihan Model Kebijakan Publik (Gambar: Freepik.com)

Sejumlah kondisi juga mendorong penggunaan model ini (Thoha, 2008). Pertama, tidak punya waktu, tantangan intelektualitas/SDM, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai-nilai sosial masyarakat yangg merupakan landasan bagi perumusan tujuan kebijakan.

Kedua, adanya kekhawatiran akan terjadinya dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah diterapkan sebelumnya. 

Ketiga, adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan  untuk kepentingan tertentu.

Keempat, menghindari adanya konflik dalam proses negosiasi yang melelahkan untuk kebijakan baru.

Model inkremental, pada dasarnya melihat kebijakan publik sebagai kelanjutan dari tindakan pemerintah sebelumnya dan hanya membuat perubahan yang diperlukan. 

Model ini juga mencerminkan model pengambilan keputusan yang bertujuan menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan, sehingga dapat dikatakan cenderung berada di zona nyaman.

Bagaimanapun, jika hasil evaluasi suatu kebijakan dinilai baik, maka penggunaan model inkremental sangat disarankan. Namun, tindak lanjut perlu tetap dilakukan, misalnya peninjauan kembali atas upaya atau strategi, agar terjadi peningkatan yang lebih baik atau dampak kebijakan semakin meluas.

Jika yang terjadi, suatu kebijakan dinilai gagal, dan diperlukan perumusan kebijakan baru, inilah yang perlu betul-betul diperhatikan. Perumusan kebijakan baru akan memerlukan waktu yang tidak singkat. Bahkan, bisa berlarut-larut secara prosedural, karena perubahan bersifat radikal dan komprehensif atau menyeluruh.

Saat ini, globalisasi juga memberikan efek yang besar dalam hal tren kolaborasi antarpemerintah atau antarpemangku kepentingan. Kolaborasi dapat menjadi salah satu jawabannya.

Agranoff dan McGuire (2004) mengemukakan bahwa kolaborasi adalah koneksi atau jaringan yang sengaja dibangun untuk memecahkan masalah dengan menciptakan dan menemukan solusi atas keterbatasan informasi, waktu, dan ekonomi. 

Pada intinya, pembuat kebijakan publik diharapkan tidak terjebak dalam model inkremental ini. Dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah, di sana terdapat pertanggungjawaban yang besar atas setiap pengeluaran publik yang dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun