Mohon tunggu...
Vunny Wijaya
Vunny Wijaya Mohon Tunggu... Human Resources - Analis/Pemerhati Kebijakan Publik - Peneliti Sosial

Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia'17 I ISS Sungkyunkwan University, Korea Selatan'18 I Sosiologi Pembangunan Universitas Negeri Jakarta'09

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pro-Kontra Bank Tanah di Indonesia, Mencermati Praktiknya di Amerika dan Belanda

31 Januari 2023   07:00 Diperbarui: 31 Januari 2023   20:32 2373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lahan pertanahan(Unsplash/Juan Cruz Mountford)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2022 tentang Penambahan Modal Badan Bank Tanah pada 31 Desember 2022, setelah meluncurkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja Nomor 2/2022 pada 30 Desember 2022 lalu. Sebagai tindak lanjut, pemerintah memberikan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp500 miliar kepada Badan Bank Tanah.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Raja Juli Antoni (2022) menyampaikan bahwa salah satu manfaat langsung yang akan didapatkan, dari hadirnya Bank Tanah adalah sebanyak minimal 30 persen dari tanah negara yang dihimpun melalui Bank Tanah, akan diredistribusikan kepada masyarakat. 

Dengan adanya redistribusi, tanah-tanah yang sebelumnya berupa aset diam diharapkan bisa berubah semakin produktif di tangan masyarakat. 

Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto (2023), menyampaikan bahwa target perolehan tanah Bank Tanah pada 2023 seluas 20 ribu hektar (Ha).

Berdirinya Bank Tanah diharapkan menjadi salah satu upaya untuk mendorong manajemen pertanahan yang lebih komprehensif. Selain itu, juga diharapkan dapat mendorong keberhasilan kebijakan Ekonomi Berkeadilan.

Menurut Darmin Nasution (2017), kebijakan Ekonomi Berkeadilan mencakup tiga area pokok.

Pertama, kebijakan berbasis lahan, yang meliputi reforma agraria, pertanian, perkebunan, dan lain-lain.

Kedua, kebijakan berbasis kesempatan, di antaranya: sistem pajak berkeadilan dan information and communication technology (ICT).

Ketiga, kebijakan berbasis peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), yang meliputi vokasi, kewirausahaan, dan pasar tenaga kerja. 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa terjadi 241 kasus konflik agraria di tahun 2020. Total kasus tersebut tersebar di 359 daerah dengan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK).

Di tahun 2021, terjadi 207 konflik di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa/kota, dengan korban terdampak sebanyak 198.895 KK. Selanjutnya, pada tahun 2022, terjadi 212 konflik di 459 desa. Namun, ada juga konflik  di wilayah perkotaan. 

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika (2023) menyampaikan bahwa tren konflik agraria cenderung terus meningkat. Jumlah masyarakat terdampak juga naik drastis kurang lebih 50 persen dibandingkan pada tahun 2021, yaitu sebanyak 346 ribu keluarga.

Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah, mendirikan Badan khusus, yaitu Bank Tanah, sebagai salah satu alternatif menekan dan menyelesaikan konflik yang terjadi.

Menurut Dewi, ide bank tanah sebetulnya sudah salah kaprah sejak awal, karena prinsipnya tanah adalah barang komoditas, pembentukan Bank Tanah merupakan pelanggaran konstitusional. 

Dewi melanjutkan bahwa penyediaan tanah kerap disebut sebagai hal yang menghambat pembangunan dan menghambat investasi. Padahal, realita di lapangan jutstru sebaliknya, pemerintah memberikan keistimewaan berlimpah pada investor. Monopoli tanah oleh swasta dan klaim sepihak oleh negara menjadi dasar ketimpangan kepemilikan lahan. 

Adanya fenomena perkotaan seperti urban sprawling, yaitu perkembangan kota yang meluas ke daerah-daerah pinggiran kota, juga menjadi tantangan tersendiri dalam percepatan penanganan konflik pertanahan di Indonesia. 

Dalam tulisan berjudul "Pengelolaan Aset Bank Tanah Untuk Mewujudkan Ekonomi Berkeadilan", Hadi Arnowo (2021), menyebutkan bahwa peran pemerintah dalam pengaturan tanah sangat minim, sehingga selalu tertinggal dalam hal penyediaan tanah untuk pembangunan. 

Sedangkan peran lain tidak dilakukan oleh pemerintah, yaitu sebagai pengatur ketersediaan tanah (land manager). Sementara,  pihak pengembang telah terlebih dahulu melakukan penguasaan tanah berskala besar untuk kawasan perumahan (real estate) dan kawasan industri (industrial estate).

Praktik Bank Tanah di Amerika Serikat dan Belanda

Praktik Bank Tanah telah dilakukan oleh banyak negara, di antaranya Amerika Serikat (AS) dan Belanda.

Pertama, AS. Tappendorf dan Denin (2011) mengungkapkan bahwa praktik Bank Tanah di AS berupa konsep perbankan tanah (land banking), yaitu dengan mengelola tanah-tanah yang ditelantarkan atau diserahkan pemiliknya untuk dikelola, sehingga dapat meningkatkan nilai tanah. Pengelola Bank Tanah umumnya oleh badan khusus yang dibentuk oleh negara bagian.

Pelaksanaan Bank Tanah di AS semula dilaksanakan oleh badan khusus dari pemerintah (public authority) di lingkup negara bagian (state). Seiring kebutuhan masyarakat mengenai pengelolaan aset tanah dengan sistem perbankan tanah, maka kemudian dibentuk Bank Tanah lokal, seperti di kota metropolitan dan pemerintahan lokal (county).

Bank Tanah di tingkat lokal ini dibentuk oleh pemerintah setempat dengan melibatkan sektor swasta (Alexander, 2008).

Selanjutnya, Alexander (2015) menyebutkan bahwa generasi pertama Bank Tanah di AS terfokus pada objek tanah yang ditelantarkan, pajak tanah yang tertunggak (tax-delinquent), dan tanah tidak produktif.

Berdasarkan penelitian Kevin O'Brien dkk (2005), setidaknya terdapat beberapa faktor yang dapat menunjang keberhasilan Bank Tanah. Di antaranya: memiliki fokus yang sempit dalam tujuan dan sasaran pemanfaatan kembali tanah-tanah yang dihimpun; koordinasi secara intens antar kementerian/lembaga (k/l) dan kerjasama dengan mitra eksternal; adanya entitas pengelola independen untuk mengelola pengelolaan dan pendistribusian tanah yang lebih terkontrol. 

Visi Bank Tanah juga harus terintegritas dengan rencana pengembangan tata ruang wilayah. Selain itu, dalam perspektif kebijakan publik, adanya landasan hukum yang kuat juga menjadi unsur penting dalam mengefektifkan praktik Bank Tanah.

Kedua, Belanda. Milicevic (2014) menyatakan bahwa di negara-negara Eropa, Bank Tanah diistilahkan sebagai pendanaan lahan (land funds). Pemanfaatan Bank Tanah bertujuan untuk menunjang sektor pertanian. 

Bank Tanah memiliki fungsi pencadangan, pengelolaan, dan pendistribusian tanah untuk sejumlah kepentingan. Di antaranya: konsolidasi lahan, pembentukan dan pengawasan pasar lahan (land market); pegelolaan lahan (land management); implementasi proyek pengembangan perdesaan dan perkotaan; serta proyek infrastruktur.

Sejumlah Catatan Implementasi Bank Tanah di Indonesia

Dalam penelitian Al Zahra (2017), pembentukan Bank Tanah di Indonesia akan mampu mengisi kekosongan peran lembaga yang menyimpan cadangan tanah dan mendistribusikannya untuk berbagai keperluan. Adanya Bank Tanah juga akan mendorong efisiensi pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Daerah (APBD) karena dapat mengendalikan pasar tanah. 

Selain itu, juga mampu mengurangi konflik pembebasan lahan dengan menjamin ketersediaan tanah yang tidak lagi diganggu oleh permainan para spekulan tanah. Dalam hal ini, pemerintah menjalankan fungsinya dalam mengamankan tanah.

Melihat praktik keberhasilan Bank Tanah di sejumlah negara, Indonesia masih perlu berbenah dalam menyiapkan ekosistem Bank Tanah. Perencanaan yang ada saat ini perlu ditinjau. Sejumlah rekomendasi berikut dapat diprioritaskan.

Pertama, Bank Tanah perlu memiliki fokus yang sempit dalam tujuan dan sasaran pemanfaatan kembali tanah-tanah yang dihimpun. Hal tersebut dalam rangka menjaga keseimbangan pemanfaatan tanah untuk berbagai kepentingan secara adil. 

Berdasarkan situs web banktanah.id, tujuan didirikannya Badan Bank Tanah adalah untuk untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.

Secara lebih sederhana, dalam proses perencanaan masih perlu dipetakan program prioritas. Sebagaimana dilakukan di AS pada generasi pertama mereka. Misalnya, dapat dimulai dari pendataan terpadu tanah yang terlantar dengan pemanfaatan ICT. 

Kedua, koordinasi secara intens antar k/l dan kerjasama dengan mitra eksternal. Berdasarkan struktur kepengurusannya, Bank Tanah terdiri dari Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana. Kementerian ATR/BPN diharapkan menjadi leading sector dalam perencanaan strategis. 

Namun, juga diperlukan pembagian tugas yang lebih jelas untuk menekan tumpang tindih peraturan atau pembagian peran, mengingat tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) Kementerian ATR/BPN yang sudah dijalankan sejauh ini.

Dalam praktiknya nanti, penyelenggaraan fungsi Bank Tanah juga dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan pihak lain, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan hukum swasta, pihak swasta, masyarakat, koperasi, dan/atau pihak lain yang sah.

Bentuk kerja sama berupa jual beli, sewa, kerja sama usaha, hibah, tukar menukar, dan bentuk lain yang disepakati dengan pihak lain dalam melaksanakan pemanfaatan tanah. 

Jika melihat praktik di AS, sejumlah negara bagian telah memiliki kultur birokrat dan kapasitas yang mendukung untuk melaksanakan Bank Tanah.

Ini menjadi tantangan yang besar melihat situasi hubungan pusat dan daerah yang seringkali memiliki gap atau konflik. Berdasarkan faktor keberhasilannya, visi Bank Tanah juga perlu terintegritas dengan rencana pengembangan tata ruang wilayah.

Dalam jangka panjang keterlibatan daerah akan menjadi begitu signifikan. Pemerintah pusat perlu mempertimbangkan kewenangan dan peran daerah secara lebih jelas, termasuk mempersiapkan daerah agar memiliki kultur dan kapasitas dalam mendukung kebijakan Bank Tanah.

Dalam Perpres 113 disebutkan bahwa Bank Tanah dapat memiliki kantor perwakilan. Diharapkan kantor perwakilan ini menjadi wadah komunikasi yang baik.

Selain itu, terkait kultur di Indonesia, rawannya korupsi institusional juga menjadi tantangan besar. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Jika memperhatikan praktik di Belanda, adanya kultur birokrasi yang baik, menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam melaksanakan program prioritas Bank Tanah.

Adanya pihak independen yang akan mengisi Dewan Pengawas maupun dimungkinkan pada Komite dan Badan Pelaksana, diharapkan dapat memiliki peran untuk semakin menjamin penyelenggaraan Bank Tanah yang adil. Selain itu, petunjuk teknis mengenai proses bisnis juga perlu dibuat dengan memperhatikan multiaspek.

Setidaknya terdapat tiga pihak yang terkait langsung dengan pelaksanaan Bank Tanah, yaitu, pemilik tanah, Bank Tanah, dan pihak yang akan memanfaatkan tanah. 

Adanya strategi penanganan konflik dan komunikasi yang mengedepankan kepentingan pihak terkait juga perlu direncanakan secara matang.

Mendukung hal tersebut, adanya komunikator publik/hubungan masyarakat (humas) yang profesional sangat diperlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun