Jaman dahulu kala, ketika umur saya masih lebih muda beberapa tahun dari hari ini, beberapa angkot di Bandung jurusan tertentu akan menarik ongkos lebih  dengan alasan ngetem.
Kalau dipikir-pikir, yang ngetem di situ, yang untung di situ, yang rugi penumpang, mengapa pula ongkos yang ditarik dari penumpang malah jadi naik?
Kadang ada orang yang iseng menjawab karena keberatan dengan aturan seperti itu, "Yang ngetem kan bukan saya!"
"Aturannya sudah begitu!", kata kernetnya tak mau kalah.
Jaman sekarang, nampaknya sudah tidak ada lagi aturan seperti itu. Lha penggunanya juga sudah jarang. Sekarang kredit mobil pribadi mudah, sehingga hampir setiap keluarga punya mobil minimal satu. Ojek motor dan mobil online pun banyak. Cukup praktis kalau pergi rame-rame tetapi tidak ada kendaraan pribadi. Kadang ongkosnya malah jadi lebih murah. Gak pake ngetem dan bisa cari alternatif jalan yang lebih singkat untuk sampai di tujuan.
Tetapi urusan ngetem, ternyata masih saja seperti dulu, walau tidak separah dulu. Dulu, angkot ngetem bisa sampai setengah jam. Kalau buru-buru mau ke suatu tempat, penumpang dengan sengaja menggoyang-goyangkan kakinya, berharap supir dan kernet mengerti. Jika sudah tidak sabar, lebih baik turun dan berjalan sedikit menjauh dari area ngetem, demi mendapatkan angkot lain yang masih butuh satu dua penumpang. Kadang ada penumpang yang berani komplain, "Nunggu apa lagi sih, Pak?" dan supir akan menjawab dengan ketus,"Kalau gak sabar naik taksi saja!"
He..he..he...iya juga sih. Masalahnya cukup gak ongkosnya buat naik taksi?!
Bandung, konon katanya kemana saja, sampai ke pelosok-pelosok, pasti ada angkotnya. Jadi tidak usah khawatir kalau nyasar ke suatu tempat. Naik angkot saja dan ngobrol dengan supirnya. Dia pasti kasih tahu dimana seorang penumpang harus turun untuk sampai ke tujuannya. Selain itu, mereka juga akan dengan senang hati memberi tahu naik angkot apa lagi untuk sampai ke tujuan. Sampai sekarang, supir angkot di Bandung masih baik-baik dan sopan.
Penanda Titik Setopan Kendaraan Umum