"Cerpen adalah saksi dari jaman yang selalu berubah"
Dan cerpen pemenang "Anugerah Cerpen Kompas" yang berjudul "Istri Sempurna, karya Aveus Har membuktikan itu. Cerpen yang berisi tentang istri sempurna yang ternyata adalah robot. Karena dia robot maka dia "sempurna". Dan ini sesuai dengan fenomena yang terjadi saat ini terkait dengan teknologi AI, yang menandai perubahan jaman versi terbaru. Â
Yang menarik adalah, sesi diskusi yang mendiskusikan tentang efek AI dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pengaruhnya pada Kompas sebagai media yang masih menayangkan kolom cerpen. Â
Membayar penulis mahal, jadi apakah lebih baik menggunakan AI? Â Dengan perhitungan yang digambarkan dalam diskusi tersebut, memang nyata jelas bahwa membuat cerpen menggunakan teknologi AI akan lebih murah biayanya, daripada membayar cerpenis dan tenaga terkait lainya.
Namun jawaban yang smart keluar dari mulut pemenang anugerah cerpen Kompas, Aveus Har.  Inti yang saya tangkap dari opini beliau adalah tentang ke-otentikan. AI dapat dengan mudah diminta menuliskan sebuah cerpen dengan gaya cerpenis terkenal. Namun, itu artinya artificial atau tiruan. Bukan asli hasil pemikiran cerpenis manusia.
Maka, agar manusia menjadi yang tidak terkalahkan oleh teknologi AI, jadilah otentik. Punya ciri dan gaya sendiri. Bukan meniru-niru. Karena segala sesuatu yang meniru, dalam hal ini tentang penulisan cerpen, dapat dilakukan dengan mudah oleh AI. Yang artinya, disitu manusia sudah kalah dengan AI.
Cukup menarik karena opini untuk menjadi otentik ini keluar dari seseorang yang menurut pengakuannya sendiri kurang berinteraksi dengan dunia luar karena kesibukannya sebagai penjual mie ayam. Rupanya kurangnya berinteraksi dengan dunia luar dia ganti dengan membaca buku. Menurut beliau hobinya adalah membaca, bukan menulis. Tetapi, semua penulis mungkin setuju kalau menulis itu adalah hasil dari "usaha" membaca. Bacaan masuk ke otak, hati, dan jiwa, kemudian diproses, dan akhirnya menghasilkan tulisan yang baru. Di sini, bukan berarti tulisan yang baru itu adalah hasil tiruan dari bacaan yang dibaca. Tetapi tentunya sudah diproses, dipadukan dengan pengetahuan, pengalaman, dan rasa si penulis, dan dituliskan dengan gaya si penulis sendiri. Otentik gaya dia sendiri.
Mas Aveus Har sendiri, menjelaskan bagaimana dia "mengerti" tentang AI hingga kemudian menuliskan kembali pengertiannya dalam kisah yang berbeda. Beliau menjelaskan pengalamannya  dengan agen asuransi yang mengarahkan calon nasabah untuk menjawab sesuai permintaan. Dalam hal ini, nasabah menjadi seperti robot yang hanya menjalankan perintah saja, tanpa berpikir.
Kemudian, pengertian tentang cara kerja robot ini dia bandingkan lagi dengan para suami yang sering hanya menuruti permintaan istri tanpa argumen. Semua permintaan dijawab dengan "Ya" saja, supaya urusan tidak berlanjut dan dunia damai-damai saja. Rupanya inilah yang menjadi inspirasi beliau dalam menuliskan cerpen tersebut.
Hanya saja, saya kurang setuju dengan pendapat yang tercetus dalam diskusi tersebut, bahwa pada akhirnya suatu saat nanti, ada kemungkina manusia menjadi tidak ada apa-apanya. Saya kira itu tergantung pribadi masing-masing. Contoh dalam hal penulisan cerpen ini, apakah kita, sebagai manusia, hanya akan menyerahkan segala sesuatunya pada AI, atau mau tetap otentik menghasilkan karya-karya sendiri. Otentik tidak meniru-niru. Termasuk meniru secara manual tanpa bantuan AI.Â
AI mungkin pada akhirnya akan bisa membuat karya yang juga benar-benar baru setelah mempelajari hasil karya manusia. Namun, manusia punya kelebihan sendiri. Dia bisa secara spontan berinisiatif menciptakan sesuatu yang baru. Contohnya penulis cerpen "Istri Sempurna", kegiatan sehari-harinya menjual mie ayam. Apa ada yang memintanya untuk membaca buku-buku yang membuat dia mengerti AI? Logika saya mengatakan tidak. Dan mungkin dia juga tidak secara khusus membaca bacaan-bacaan tentang AI. Tetapi karena senang membaca, maka pola pikirnya menjadi terasah untuk berpikir kritis. Hingga akhirnya dia mengerti bagaimana manusia bisa digiring untuk menjadi seperti robot hanya dengan bersuara sesuai perintah.
Kalau AI, setahu saya, harus diisi dengan data-data yang "nyambung" dulu baru dia bisa "mikir" sendiri. Atau dihubungkan dengan segala macam sumber data, dilatih untuk mengenali prompt dan kemudian mencari jawaban dari saluran-saluran data yang kira-kira sesuai. Jika sebelumnya tidak ada data tentang mie ayam, maka dia tidak akan bisa merespon prompt tentang mie ayam dengan benar.
Jadi, menurut pendapat saya, manusia tidak akan pernah terkalahkan oleh AI. Tetapi, tergantung manusianya juga. Ada yang maunya terima beres saja terima hasil selesai, tapi pada akhirnya jadi bodo, ada yang benar-benar berusaha mengerti sesuatu dulu, baru kemudian menciptakan sesuatu yang baru sesuai gayanya dia sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H