Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler Teknologi untuk semua orang, maka semua orang perlu melek teknologi

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Halusinasi Pada AI

26 Desember 2024   01:14 Diperbarui: 26 Desember 2024   11:31 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Robot Kecapean (sumber: static.wixstatic.com)

Apa sih maksudnya halusinasi pada AI?

Halusinasi pada AI bentuknya dapat berupa omong kosong, kesalahan, dan penurunan memory atau kerusakan memori, atau juga khayalan. Halusinasi ini dapat mengakibatkan jawaban yang diharapkan oleh pengguna, tidak sesuai dengan prompt (input) yang dimasukan. 

Makanya, kadang-kadang teknologi AI seperti ChatGPT suka salah, bahkan bisa saja ngawur jawabannya. Biasanya kejadian halusinasi ini bukanlah sesuatu yang disengaja oleh para aktor di belakang layar yang membangun teknologi AI.

Halusinasi ini jika ditemukan, (seharusnya) diperbaiki oleh pengembangnya, agar setidaknya gejala halusinasi yang sama tidak berulang. Namun, terkadang halusinasi ini baru ketahuan setelah lama. Gejalanya bisa ditemukan oleh pengguna, bisa juga oleh pengembang sendiri.

Jadi AI juga sebenarnya punya keterbatasan. Istilahnya, dia juga bisa ngomong seperti orang mabuk. Gak nyambung antara prompt (input) dan respon jawaban.

Maka itu, menurut saya, sebaiknya jangan terlalu serius menjadikan AI sebagai teman curhat. Teman yang nyata, sekalipun bisa saja salah orang, misal ketemunya orang yang suka menghakimi, tetap lebih baik. Karena lebih sehat berbicara dengan sesama manusia daripada ngomong dengan mesin dan ketawa-ketawa sendiri (dengan mesin). Ngobrol dengan sesama manusia, sekalipun ketemunya orang yang kurang tepat, dapat juga membangun kesadaran yang lebih baik dalam diri kita. 

Atau bisa juga mencurahkan rasa yang ada ke dalam diari. Diari juga tidak menghakimi toh? Apalagi diari jaman sekarang bisa dalam bentuk digital dalam laptop pribadi yang tidak bisa sembarangan diakses orang lain.

Syukur-syukur kalau ketemunya orang yang pas, jadi lebih enak curhatnya. Tetapi tetap saja, curhat juga harus ada solusinya. Dan yang menentukan adalah diri sendiri, bukan si teman curhat.

Dalam dunia kesehatan mental, AI juga sudah dikembangkan. Tetapi fungsinya bukan untuk curhat. AI terkait kesehatan mental lebih kepada menentukan diagnosa yang akurat dengan bantuan data-data historis terkait kesehatan mental. Data-data ini bisa jadi dikumpulkan dari data-data kesehatan jiwa dari jaman dulu sampai sekarang, atau dengan mengumpulkan berbagai teori terkait yang ada sampai saat ini. Dimana kemudian AI menemukan pola-pola dari dari data-data tersebut, sehingga dia bisa membantu diagnosa menjadi lebih akurat.

Kalau dokter manusia, semakin "tua" biasanya akan membuat pasien lebih percaya diri. Mengapa? Karena dokter yang sudah berumur biasanya pengalamannya banyak sehingga dia dapat mendiagnosa suatu penyakit jauh lebih baik daripada dokter yang baru lulus. Karena dokter yang baru lulus, pengalamannya masih kurang.

Kalau AI, karena dia menggunakan mesin, dimana memori komputer bisa terus menerus ditambah untuk menampung data yang semakin banyak, maka bisa dianalogikan sebagai dokter yang pengalamannya lebih banyak lagi daripada dokter yang sudah berumur dengan banyak pengalaman yang sudah dia jalani. Maka itu, hasil diagnosa AI bisa lebih akurat.

Itu pun di belakang layar, cara mesin membaca data, membangunnya menjadi solusi, masih melibatkan para ahli di bidangnya masing-masing. Misal dengan mengerahkan para dokter yang memang ahlinya dalam bidang terkait. Dan sedikit banyak masih ada kemungkinan kesalahan. Itulah yang dinamakan halusinasi tadi.

Kembali ke masalah curhat. Kalau curhat itu, pasti tema-nya general, yang artinya bisa lebar kemana-mana. Karena orang curhat pasti masalahnya beda-beda. Ada yang tentang percintaan, ada yang tentang masalah pekerjaan, ada yang tentang masalah hubungan dengan keluarga, dan masih banyak lagi. Maka, menurut logika saya, kemungkinan halusinasinya bisa jadi lebih tinggi daripada AI yang dibangun spesifik untuk hal tertentu, misal tentang kesehatan mental tadi.

Maka itu, sebaiknya jangan menjadikan AI sebagai teman digital yang diperlakukan seperti "manusia", karena suatu saat dia juga bisa mengecewakan. Lebih baik perluas pergaulan untuk menemukan teman yang sefrekwensi. Terkadang seorang teman juga ada spesialisasinya masing-masing. Misal si A yang lebih ok kalau diajak curhat, ada si B yang lebih ok sebagai teman jalan-jalan, ada si C yang lebih ok kalau urusan belanja-belanja, dst. AI mungkin bisa merangkap menjadi si A, si B, si C, tetapi tetap saja, teman "manusia" pasti akan lebih asik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun