Kalau AI, karena dia menggunakan mesin, dimana memori komputer bisa terus menerus ditambah untuk menampung data yang semakin banyak, maka bisa dianalogikan sebagai dokter yang pengalamannya lebih banyak lagi daripada dokter yang sudah berumur dengan banyak pengalaman yang sudah dia jalani. Maka itu, hasil diagnosa AI bisa lebih akurat.
Itu pun di belakang layar, cara mesin membaca data, membangunnya menjadi solusi, masih melibatkan para ahli di bidangnya masing-masing. Misal dengan mengerahkan para dokter yang memang ahlinya dalam bidang terkait. Dan sedikit banyak masih ada kemungkinan kesalahan. Itulah yang dinamakan halusinasi tadi.
Kembali ke masalah curhat. Kalau curhat itu, pasti tema-nya general, yang artinya bisa lebar kemana-mana. Karena orang curhat pasti masalahnya beda-beda. Ada yang tentang percintaan, ada yang tentang masalah pekerjaan, ada yang tentang masalah hubungan dengan keluarga, dan masih banyak lagi. Maka, menurut logika saya, kemungkinan halusinasinya bisa jadi lebih tinggi daripada AI yang dibangun spesifik untuk hal tertentu, misal tentang kesehatan mental tadi.
Maka itu, sebaiknya jangan menjadikan AI sebagai teman digital yang diperlakukan seperti "manusia", karena suatu saat dia juga bisa mengecewakan. Lebih baik perluas pergaulan untuk menemukan teman yang sefrekwensi. Terkadang seorang teman juga ada spesialisasinya masing-masing. Misal si A yang lebih ok kalau diajak curhat, ada si B yang lebih ok sebagai teman jalan-jalan, ada si C yang lebih ok kalau urusan belanja-belanja, dst. AI mungkin bisa merangkap menjadi si A, si B, si C, tetapi tetap saja, teman "manusia" pasti akan lebih asik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H