Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Curhat dengan Mesin AI? Are You OK?!

14 Desember 2024   20:05 Diperbarui: 15 Desember 2024   10:40 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi curhat dengan AI | Gambar hasil AI/Kompasiana/Eka Dharma Saputra

Curhat dengan mesin AI seperti ChatGPT atau mesin AI lainnya? Ini sih lebih parah daripada menjadikan medsos sebagai opened diary atau kebanyakan ngobrol dengan orang via chat messenger menggunakan tulisan.  

Masalahnya, menjadikan medsos sebagai opened diary atau lebih sering ngobrol via chat messenger itu, masih ada unsur manusianya. Yang lihat dan baca masih manusia. Kalau curhat dengan ChatGPT, tidak ada unsur manusianya. Ini sih salah kaprah.

ChatGPT adalah salah satu bentuk teknologi AI yang disebut Generative AI atau disingkat Gen AI, adalah sebuah teknologi AI yang memiliki kemampuan membuat konten berupa teks, gambar, video, audio, atau software code, di mana konten tersebut dibuat sebagai respon terhadap permintaan user.

Memang benar, Gen AI seolah-olah bisa diajak ngobrol. Tetapi, sebenarnya itu hanyalah respon dari request user (input). Sama dengan google search engine, ketika kita masukan sesuatu maka dia akan menampilkan daftar link sesuai permintaan.

Hanya saja Gen AI sudah memiliki kemampuan lebih baik daripada search engine, yaitu "mengolah" respon dan menjadikannya semacam produk yang sudah jadi. Sementara search engine kemampuannya hanya sebatas melakukan pencarian, selanjutnya terserah orangnya. Bahkan google search engine saat ini sudah dilengkapi aplikasi gen AI juga.

Gen AI menurut saya lebih untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan dengan mencari jawaban atas sebuah pertanyaan, dengan cara yang lebih mudah, dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk yang lebih rapih. Bisa diperintah pula, format yang diinginlan pengguna seperti apa. Namun, ketepatan respon yang dihasilkan tergantung dari prompt (input) dan juga kehandalan sistemnya.

Sebagai contoh Gen AI adalah percakapan pengunjung pameran dengan Pelukis Indonesia legendaris Alm. Basoeki Abdullah, di Basoeki Art Award #5 di Galeri Nasional Jakarta tempo hari. (Baca: Pameran Seni: Conversation with No Things Halaman 3 - Kompasiana.com.) Di mana, pengunjung dapat bertanya jawab dalam bahasa verbal (dengan suara), walau tidak dapat melihat visualisasi Pak Basoeki berhadap-hadapan dengan penanya. 

Saya memang tidak mencoba tanya jawab selain tentang dunia seni yang berkaitan dengan Pak Basoeki. Namun kalaupun mesin AI itu dapat menjawab hal lain selain tentang seni, misalkan tentang kemacetan lalu lintas di Jakarta, ada kemungkinan mesin itu akan mengaitkan dengan lukisan tentang kemacetan lalu lintas.

Mengapa demikian? Karena dataset di belakang layar dipersiapkan untuk menjawab sesuatu yang berhubungan dengan Pak Basoeki Abdullah. Jadi bukan seperti manusia yang dapat berpikir secara spontan ketika diberi pertanyaan mengenai sesuatu yang belum dipersiapkan sebelumnya.

Tapi koq bahasanya bisa gak baku? Ngerti bahasa gaul pula. Jangan-jangan bahasa daerah pun dia ngerti?!

Kalau itu ada algoritmanya sehingga mesinnya dapat mengenali prompt, dan mengaitkan dengan jawaban yang cocok. Kalau bahasa daerah, bisa saja kalau memang di set untuk mengenali bahasa. Sistemnya tinggal digabungkan dengan aplikasi penerjemah.

Percayalah, mesin AI tidak mungkin bisa diajak ngobrol benar-benar seperti manusia. Jadi sebaiknya jangan jadikan mesin AI sebagai teman curhat. Ketika mesin AI mentok dan jawabannya mulai ngawur seperti orang mabok, jangan-jangan nanti ada istilah "hilang kepercayaan terhadap teman digital". Bisa-bisa ada penyakit jiwa model baru akibat dunia serba digital ini. 

Daripada curhat ke mesin, mending menulis diary saja atau berkarya dalam bentuk yang lain, agar emosi yang terpendam bisa tersalurkan. Karena problem hidup juga tidak selalu ada solusi. Daripada mencari jawaban ke ChatGPT lebih baik menyalurkan energi dengan berkarya yang nyata saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun