Banyak cara seseorang mengungkapkan emosinya. Bisa melalui lagu, tulisan, foto, dan juga lukisan, atau bentuk-bentuk lainnya.
Pada hari Sabtu lalu, 30 Nov, bersama beberapa anggota KoPaJa71 (Komunitas KomPasioner Jakarta), saya berkesempatan mengikuti diskusi seni dan pameran Basoeki Abdullah Art Award yang ke-5, yang bertajuk "Conversation with No Things" di Galeri Nasional, Jakarta.
Karya-karya yang dipamerkan adalah karya para finalis. Lomba ini mensyaratkan usia antara 17-35 tahun, yang artinya tergolong para seniman usia muda.Â
Basoeki Abdullah Art Award sendiri adalah sebuah event yang diadakan dua tahun sekali, untuk para perupa muda. Tahun ini adalah event yang kelima kalinya.Â
Bentuk karya seninya juga lebih variatif, yaitu 2 dimensi, 3 dimensi, dan Seni Media.
Karya 2 dimensi dapat berupa, lukisan, grafis, gambar, digital, tapestri, dsj.
Karya 3 dimensi dapat berupa patung, keramik, instalasi, dsj.
Seni Media ini dapat berupa video, digital, virtual, performance, seni bunyi, seni Cahaya, bio art, seni lingkungan, dsj.
Terkesan lebih bebas merdeka dalam mengekspresikan sesuatu, dan juga ragam media yang dipakai sesuai dengan kondisi zaman sekarang.
Mungkin sesuai juga dengan judulnya, "Conversation with No Things" yang dalam terjemahan bebas ala saya artinya menjadi, percakapan tanpa hal apapun. Yang berarti tanpa sungkan, tanpa basa-basi, tanpa kata-kata kiasan yang masih ada kemungkinan ditafsirkan dengan salah. Dengan kata lain, terbuka apa adanya.
Layaknya usia muda, terkadang mereka punya kegelisahan tersendiri mengenai lingkungan sekitarnya dan juga tentang dirinya sendiri. Itulah yang saya lihat dalam beberapa karya yang dipamerkan. Contohnya karya Asmoadji, yang berjudul "Bercermin Pada Sekitar".Â
Sebuah seni instalasi yang menggambarkan sebuah pemukiman yang nampak sebagai pemukiman semrawut dan lanskap pantai. Dalam karya tersebut sang seniman menyertakan tulisan-tulisan yang bernada sinis, kekecewaan, yang dapat disimpulkan sebagai sebuah kritikan. Contohnya:
Dilarang melarangÂ
Tuhan lihat sekarang laut-Mu dipenuhi batu
Kaku penuh batu.Â
Nampaknya ini menceritakan sebuah pemukiman di tepi pantai, di mana kemudian pantainya hendak diuruk untuk membangun bangunan megah yang baru.
Sebuah karya instalasi lain yang menarik perhatian saya, menggambarkan seseorang yang sedang tidur, setengah duduk di antara kardus-kardus bekas di sekelilingnya, yang juga menjadi tempat tidur/duduknya.Â
Sang seniman sepertinya hendak menunjukan perbedaan antara penginapan high class, standard, dan low budget, seperti tertulis dalam tiga tumpukan.
High class ditempatkan sebagai yang paling bawah, standard di tengah, dan low budget paling atas. Low budget menjadi tempat orang yang sedang setengah duduk setengah tidur di antara kardus-kardus bekas tadi.Â
Karya seni dilengkapi dengan visualisasi sobekan-sobekan kertas di lantai dan di dinding. Sobekan kertas di dinding, dalam imajinasi saya seperti menggambarkan hotel bintang bertaburan alias hotel beratapkan langit.
Tentu sangat kontras dengan high class dan standard hotel yang pastinya tidak dapat menikmati bintang bertaburan semerdeka itu. Makanya kedua kelas tadi diletakan di bawah budget hotel.
Entah apa maksud sebenarnya, karena saya lupa membaca keterangan mengenai karya ini saking terpesonanya. Namun itulah yang saya bayangkan. Boleh kan menterjemahkan sendiri?!
Tepat disebelah karya instalasi ini ada sebuah lukisan wanita cantik, dimana di situ juga disediakan sebuah kursi dengan peralatan audio visualnya untuk para pengunjung yang ingin "berbincang" dengan pelukis "Basoeki Abdullah".
Ini adalah sebuah karya AI, dimana pengunjung dapat berbincang dengan Pak Basoeki. Dalam logika saya, suara kita diterjemahkan ke dalam bentuk text. Dengan hasil konversi ucapan yang berupa text, mesin AI (Artificial Intelligence) akan mencari jawaban dari "dictionary" atau gudang data yang tersedia.
Ini seperti ketika kita menuliskan sesuatu pada ChatGPT (disebut "prompt"). Mesin AI kemudian menemukan jawaban yang sesuai dan mengkonversikan ke dalam bentuk audio, sebagai suara dari Pak Basoeki Abdullah. Maka terjadilah semacam obrolan antara pengunjung dengan Pak Basoeki Abdullah.
Dengan alat audio visual itu juga, kita dapat melihat beberapa lukisan karya Pak Basoeki, yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Di sisi tembok lain, ada lukisan yang muncul sebagai "pantulan" dari sebuah kotak dengan sisi berwarna merah yang ditaruh berhadapan dengan tembok. Rupanya gambar itu dipantulkan dari kotak dengan bingkai warna merah itu.
Menurut petugas yang menjelaskan, lukisan itu sudah "direkam" dalam bentuk QR Code pada garis merah yang membingkai kotak sehingga dapat dipantulkan ke dinding dihadapannya. Entah bagaimana cara kerjanya, tetapi mereka menggunakan aplikasi untuk membaca QR code.
Lagi-lagi menurut logika saya, mungkin QR Code nya itu terkoneksi dengan file gambar yang kemudian gambarnya dipantulkan ke tembok, seperti proyektor menampilkan isi layar komputer ke layar.
Semua karya yang dipamerkan sangat menarik dan membuka wawasan.Â
Selain menikmati karya para seniman, kami juga mengikuti diskusi seni yang diadakan di teras galeri. Menurut penyelenggara, peserta kali ini tersebar di lebih banyak provinsi di Indonesia. Sebelum-sebelumnya yang menonjol adalah pulau Jawa dan Sumatera.
Grafik peserta juga menunjukan peserta dengan pengelompokan berdasarkan jenis kelamin. Mengenai ini, seorang peserta diskusi mengangkat isu LGBT, karena menurut dia saat ini sudah banyak seniman yang terang-terangan mendeklarasikan diri dengan gender selain Laki-laki atau Perempuan.
Hal ini dijawab oleh salah seorang panelis dengan mengaitkannya dengan sejarah seni rupa dunia. Dimana pada jaman dulu, di dunia seni, kesempatan dan kesuksesan seseorang itu ditentukan oleh warna kulit dan jenis kelamin, yaitu warna kulit putih dan berjenis kelamin laki-laki.
Maka saat ini pun, dalam perkembangannya, kesempatan dan kesuksesan itu masih hanya dimiliki oleh gender laki-laki atau perempuan. Selain itu, masih belum diakui.
Pertanyaan lain yang menarik adalah hal menampilkan karya-karya seni semacam lukisan wanita telanjang di Indonesia, sebuah negara yang tidak sebebas negara lain dalam hal-hal seperti itu. Namun jawaban yang saya tangkap masih mengambang.
Meskipun salah seorang panelis mengatakan bahwa sebuah karya seni adalah murni karya seni, jadi jangan dilihat dari hal-hal lainnya. Namun diakui pula oleh panelis lain, bahwa dalam prosesnya, bisa saja tidak melulu hanya sekedar karya seni. Kalau menurut saya sih, kembali ke orangnya masing-masing.
Dalam diskusi ini juga terungkap bahwa dokumentasi perjalanan seni di Indonesia dan batasan-batasan tentang seni masih minim. Sehingga dalam sebuah kompetisi, sedikit banyak ada unsur tidak objektifnya. Hal ini diakui oleh salah seorang panelis. Nampaknya ini adalah sebuah tantangan bagi para penulis yang berjiwa seni.
Tetapi, memangnya seni itu bisa dibatasi? Bagaimana dengan karya-karya abstrak yang konon katanya merupakan ekspresi yang bebas.
Atau mungkin maksudnya batasan-batasan yang dimaksud hanya sebagai acuan penjurian dalam sebuah kompetisi seni (?).
Basoeki Abdullah Art Award ke-5 ini, menawarkan hadiah yang cukup menarik. Yaitu Rp. 100 juta untuk uang pembinaan. Jumlah yang fantastik, jika dibandingkan dengan beberapa kompetisi IT tingkat nasional yang saya tahu. Padahal kompetisi IT juga butuh biaya, waktu, dan pemikiran yang tidak mudah. Juga butuh berimajinasi untuk menghasilkan suatu karya yang baru.
Kembali ke laptop, dunia seni Indonesia saat ini sedang beralih fokus ke Makasar. Dimana negara Australia pun sedang melakukan penelitian. Mudah-mudahan para ahli di Indonesia gak keduluan oleh Australia. Semoga jaya selalu dunia seni Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H