Lagi-lagi menurut logika saya, mungkin QR Code nya itu terkoneksi dengan file gambar yang kemudian gambarnya dipantulkan ke tembok, seperti proyektor menampilkan isi layar komputer ke layar.
Semua karya yang dipamerkan sangat menarik dan membuka wawasan.Â
Selain menikmati karya para seniman, kami juga mengikuti diskusi seni yang diadakan di teras galeri. Menurut penyelenggara, peserta kali ini tersebar di lebih banyak provinsi di Indonesia. Sebelum-sebelumnya yang menonjol adalah pulau Jawa dan Sumatera.
Grafik peserta juga menunjukan peserta dengan pengelompokan berdasarkan jenis kelamin. Mengenai ini, seorang peserta diskusi mengangkat isu LGBT, karena menurut dia saat ini sudah banyak seniman yang terang-terangan mendeklarasikan diri dengan gender selain Laki-laki atau Perempuan.
Hal ini dijawab oleh salah seorang panelis dengan mengaitkannya dengan sejarah seni rupa dunia. Dimana pada jaman dulu, di dunia seni, kesempatan dan kesuksesan seseorang itu ditentukan oleh warna kulit dan jenis kelamin, yaitu warna kulit putih dan berjenis kelamin laki-laki.
Maka saat ini pun, dalam perkembangannya, kesempatan dan kesuksesan itu masih hanya dimiliki oleh gender laki-laki atau perempuan. Selain itu, masih belum diakui.
Pertanyaan lain yang menarik adalah hal menampilkan karya-karya seni semacam lukisan wanita telanjang di Indonesia, sebuah negara yang tidak sebebas negara lain dalam hal-hal seperti itu. Namun jawaban yang saya tangkap masih mengambang.
Meskipun salah seorang panelis mengatakan bahwa sebuah karya seni adalah murni karya seni, jadi jangan dilihat dari hal-hal lainnya. Namun diakui pula oleh panelis lain, bahwa dalam prosesnya, bisa saja tidak melulu hanya sekedar karya seni. Kalau menurut saya sih, kembali ke orangnya masing-masing.
Dalam diskusi ini juga terungkap bahwa dokumentasi perjalanan seni di Indonesia dan batasan-batasan tentang seni masih minim. Sehingga dalam sebuah kompetisi, sedikit banyak ada unsur tidak objektifnya. Hal ini diakui oleh salah seorang panelis. Nampaknya ini adalah sebuah tantangan bagi para penulis yang berjiwa seni.
Tetapi, memangnya seni itu bisa dibatasi? Bagaimana dengan karya-karya abstrak yang konon katanya merupakan ekspresi yang bebas.
Atau mungkin maksudnya batasan-batasan yang dimaksud hanya sebagai acuan penjurian dalam sebuah kompetisi seni (?).