Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membaca Sejarah Indonesia, Antara Data & Logika

2 Desember 2024   22:43 Diperbarui: 3 Desember 2024   06:06 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dikusi: "Membaca Sejarah Indonesia" di Kompas Institute (dokpri)

Hampir semua orang yang hadir di Kompas Institute dalam rangka diskusi "Membaca Sejarah Indonesia" setuju kalau pelajaran sejarah jaman sekolah dulu (sebelum universitas), sangat membosankan karena hanya sekedar menghafal tanggal, tahun, nama-nama pahlawan, nama peristiwa, dsb. Hadirin yang lebih muda pun memberikan kesan yang sama, dengan tambahan pelajaran Sejarah di sekolah hanya sekedar untuk mengisi LKS (Lembar Kerja Siswa).

Apakah benar pelajaran Sejarah semembosankan itu?

Secara pribadi, kalau masalah hafalan iya sih. Kebetulan saya tipe orang yang malas menghafal. Saya lebih suka mengerti sesuatu dan tidak perlu menghafal.

Karena kalau menghafal saya harus membaca bersuara berulang-ulang sambil berusaha mengingat-ingat. Dan itu mengganggu orang lain yang mendengar.

Selain itu, waktu belajarnya jadi dobel. Pertama waktu belajar dengan kehadiran guru, kedua waktu berusaha menghafal karena akan ujian.

Kesan yang sama pernah saya dengar dari beberapa teman yang bukan orang Indonesia. Jadi kelihatannya persoalan belajar sejarah membosankan itu bukan cuma di Indonesia.

Namun demikian, biasanya tanpa sengaja kita bicara dan mencari tahu tentang sejarah karena kebetulan sedang mengunjungi suatu tempat dan ada keingintahuan mengenai sejarah terkait tempat itu.

Misalkan kita mengunjungi Candi Borobudur, pasti ada sedikit ingin tahu mengenai asal-usulnya. Dari sini sebenarnya sedikit ada gambaran bahwa sejarah itu sebenarnya menyenangkan, terutama jika kita mencari tahu kisah dibalik sesuatu.

Sepanjang diskusi ini, dengan tiga orang narasumber yang berasal dari background yang berbeda di Kompas Institute, bicara tentang sejarah, dalam hal ini sejarah Indonesia, sungguh menyenangkan. Apalagi diskusi dengan para peserta cukup interaktif dan melahirkan ide-ide baru.

Adapun ketiga narasumber itu adalah Pak Peter Carey, seorang sejarawan dan penulis yang secara khusus mempelajari tentang Pangeran Diponegoro, yang kedua Mba Edna C. Pattisina, seorang penulis dan wartawan harian Kompas, serta yang ketiga, seorang komika yang juga penulis, yaitu Mas Adit MKM.

Yang unik Mas Adit MKM ini adalah seorang yang rajin mereview buku dan mempengaruhi orang lain untuk membeli dan membaca buku yang dia review. Salah satu buku yang dia review adalah buku tulisan Pak Peter Carey.

Pak Peter Carey sendiri adalah seorang "bule" yang memutuskan untuk meneliti mengenai Pangeran Diponegoro setelah beberapa hal yang tidak sengaja ditemui dan alami, yang meyakinkan beliau untuk melakukan hal itu. Itulah "eureka" yang membawa dia ke pulau Jawa untuk mempelajari serta mencari tahu tentang Pangeran Diponegoro.

Miriskah kalau justru orang asing yang menulis tentang sejarah Indonesia?

Kenyataannya dalam diskusi ini terungkap bahwa data-data sejarah Indonesia justru banyak ditemukan di luar Indonesia. Jadi buat saya pribadi ada orang asing yang meneliti dan menulis tentang sejarah Indonesia bukan sesuatu yang luar biasa.

Namun, saya tertarik karena Pak Peter ini secara khusus meneliti tentang satu orang Pahlawan Indonesia, yaitu Pangeran Diponegoro. Dalam pemikiran saya berarti itu akan sangat detail, tentang pribadinya, keluarganya, kebiasan-kebiasan yang melatar belakangi tindakan-tindakannya, dan segala sesuatu yang lain terkait Pangeran Diponegoro. Sementara yang kita tahu dari sekolah hanya sedikit saja tentang Pangeran Diponegoro. Boleh dibilang mungkin hanya sebatas pahlawan dari daerah mana dan tentang perang Diponegoro.

Dalam diskusi ini juga terungkap jika ternyata ada saja potongan-potongan kisah sejarah yang sengaja tidak boleh di-publish untuk alasan tertentu.

Misal, komika Adit MKM pernah mempertanyakan mengapa ada foto Bupati Surabaya (di masa lalu) yang tidak dipajang bersama foto-foto bupati lainnya. Jawabannya adalah karena bupati tersebut dianggap terlibat dengan PKI.

Secara logika, kesalahan seorang bupati (jika memang ada), tidak dapat membatalkan kenyataan bahwa orang itu pernah menjadi Bupati. Tentu hal-hal seperti ini dapat mengaburkan sejarah yang sebenarnya. 

Walau cuma sedikit yang dihilangkan, hal itu dapat mengubah persepsi dan pengertian mengenai kisah sejarah tersebut. Seharusnya kisah sejarah ditampilkan secara hitam putih bukan berdasarkan salah benar karena kekhawatiran akan persepsi masyarakat yang tidak sesuai dengan keinginan negara. Hitam putih dalam arti apapun kenyataannya, mau hitam atau putih, itulah kisah sebenarnya.

Buat saya, penghilangan atau pengubahan fakta yang sebenarnya ini seperti data yang dimanipulasi sehingga tidak lagi sinkron antara kenyataan sesuai fakta-fakta yang ditemukan, pemaknaan kisah yang seolah menjadi dipaksakan, dan hasil dari pemaknaan kisah yang akhirnya menjadi salah, karena dari awalnya sudah sengaja ada pengubahan data dan fakta.

Namun demikian, secara umum, belajar sejarah ternyata menyenangkan jika bukan hanya semata-mata menghafalkan tahun dan nama-nama. Sejarah adalah kisah yang terjadi di masa lalu yang seharusnya dapat menjadi pelajaran di masa depan.

Mengapa sejarah penting? Karena tanpa sejarah, kita tidak tahu darimana asal kita dan kemana kita harus kembali. Setiap bangsa pasti punya sejarah. Gak mungkin kan kita yang orang Indonesia mengakui sejarah bangsa lain sebagai sejarah kita?! Emang dengan begitu akan diakui sebagai bagian dari bangsa itu?!

Selain itu, bangsa yang tidak "terbuka" dengan kisah sejarah yang sebenarnya, bukan tidak mungkin akan menjerumuskan generasi selanjutnya ke dalam kesalahan yang sama yang pernah terjadi di masa lalu.

Pak Peter mencontohkan sebuah peristiwa yang pernah dialami, dimana dia mendapat kecelakaan yang membuatnya lupa ingatan beberapa saat.

Dalam keadaan seperti itu dia tidak tahu darimana asalnya, sehingga tidak bisa pulang. Demikian pula orang yang tidak tahu sejarahnya, ibarat orang yang tidak bisa "pulang" karena tidak tahu darimana asalnya.

Kisah sejarah puluhan atau ratusan tahun lalu, mungkin tidak dapat diungkap sejelas-jelasnya dengan bukti-bukti yang saat ini ada. Tetapi dapat dijabarkan secara logika.

Sebagai contoh, Peter Carey mempertanyakan fakta bahwa Pangeran Diponegoro dipenjara di bawah tanah, di Makasar.

Karena bersamaan dengan itu, beliau adalah seorang tasawuf yang menjadi panutan wong cilik. Logika-logika seperti ini sangat menarik untuk dikulik.

Dan yang jelas tidak akan didapat jika kisah sejarah itu hanya dengan menghafal tahun, peristiwa dan nama-nama pahlawan saja. Sebuah kisah, seharusnya dikisahkan dalam bentuk cerita yang enak dibaca dan dapat dipahami dengan logika yang benar.

Dari diskusi ini, muncul beberapa ide menarik. Diantaranya usulan tentang mendigitalkan data-data sejarah yang saat ini masih lebih banyak dalam bentuk hard copy, agar generasi muda dapat dengan mudah mengaksesnya. Ide lain yang muncul adalah bahwa di sekitar kita pun pasti ada kisah sejarah yang perlu dikulik. Semua orang dapat menjadi peneliti sejarah. Dan orang Indonesia tidak kalah dengan orang asing. Hal itu pun diakui oleh Pak Peter. 

Saya malah terpikir, mungkin kisah sejarah yang berasal dari masa lalu itu dapat juga untuk meramal masa depan. Meramal dalam arti semacam perkiraan/forecast berdasarkan data-data yang ada, memprediksi masa depan. 

Semoga itu semua dapat menjadi kesempatan untuk membangkitkan ketertarikan generasi muda terhadap sejarah.

Oh ya, selain beberapa anggota komunitas KoPaJa71 yang ikut hadir, banyak juga wajah-wajah muda yang hadir, diantaranya para mahasiswa filsafat.

Semoga ini menjadi suatu pertanda baik bagi kebangkitan generasi muda dalam rangka meluruskan sejarah bangsa Indonesia.

(VRGultom)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun