Setelah beberapa lama, saya kembali menggunakan kereta Argo Parahyangan untuk perjalanan Jakarta-Bandung. Sebenarnya alasan utama karena tidak mendapatkan tiket kereta api cepat Whoosh. Dengan pertimbangan lebih nyaman dan anti macet, maka saya pun membeli tiket kereta Argo Parahyangan dari Gambir ke Bandung.
Sebelumnya saya membaca berita mengenai penumpang kereta yang tidak mau melakukan verifikasi wajah. Entah apa alasannya. Mungkin karena kurang pengetahuan sehingga takut berlebihan terhadap hal-hal yang biasanya cuma hayalan sendiri akibat nonton film atau terpengaruh cerita-cerita yang kurang benar dari sumber yang kurang dapat dipercaya. Atau mungkin takut mukanya cepat tua karena kena kamera jaman now.
Hari itu saya membeli tiket kereta melalui aplikasi terbaru KAI. Namun karena terburu-buru harus menuju Gambir sebelum jam keberangkatan, sementara saat itu jarak keberadaan saya cukup jauh dari Gambir, maka saya tidak mencari menu verifikasi wajah yang menurut berita yang saya baca ada di aplikasi.
Eh ternyata sesampainya di Gambir, saya melihat ada meja khusus untuk mendaftar akses pintu masuk menggunakan face recognition. Maka tanpa pikir panjang, saya langsung menuju meja tersebut. Ternyata cuma diminta KTP dan tidak difoto.
"Gak difoto, Pak?", saya iseng bertanya.
"Gak, kan sudah ketahuan dari KTP", jawab petugasnya.
"Oh dilihat dari foto KTP ya Pak?", tanya saya lagi.
Si Bapak tidak menjawab dan langsung mempersilahkan antrian berikutnya untuk maju.
Logika saya mengatakan, tidak mungkin dari foto KTP, karena cara dia memindai KTP adalah bagian yang ada foto di atas. Berarti kemungkinan besar sistemnya sudah terintegrasi dengan sistem e-KTP. Bukankah dulu ketika membuat e-KTP juga difoto?!
Suatu kemajuan besar jika memang sistem face recognition KAI sudah terintegrasi dengan sistem data kependudukan. Bukan cuma transportasi di Jakarta saja yang sedang diusahakan saling terintegrasi, tetapi sistem digital juga. Mantap! Indonesia menuju satu data. Nampaknya sudah boleh berharap pula, galian-galian yang selalu ada di jalanan akan mulai rapih karena saling terintegrasi antara pihak-pihak terkait ketika merencanakan suatu pekerjaan.Â
Ternyata ada alternatif bagi penumpang yang tidak ingin menggunakan face recognition untuk verifikasi tiket KAI. Mereka diarahkan untuk melalui pintu yang lain.
Sementara pintu yang menggunakan face recognition ada beberapa, namun tetap antri walau tidak panjang. Antri karena banyak penumpang  yang belum terbiasa sehingga mereka sibuk mengatur senyum ketika akan melewati pintu. Eh ternyata tidak lolos face recognition. Entah mengapa!! Dalam hati saya mulai berpikir, jangan-jangan seperti kasus verifikasi passport otomatis di bandara dulu, yang baru beberapa bulan sudah mangrak tak bisa dipakai lagi.
Penumpang di depan saya, seorang wanita yang sibuk mengatur senyum di hadapan kamera tapi tidak lolos sensor juga setelah beberapa kali mencoba, akhirnya cuma berdiri menunggu petugas bereaksi. Saya mulai tidak sabar karena kereta saya tinggal 10 menit lagi akan berangkat.
"Mba, boleh gantian dulu?", akhirnya saya memberanikan diri menyapa. Si mba pun menyingkir agar saya bisa maju. Sekali menatap kamera, saya langsung lolos dan setengah berlari menuju eskalator, khawatir ketinggalan kereta.
Di beberapa gedung perkantoran di Jakarta, face recognition adalah hal yang biasa. Dengan adanya face recognition, akses masuk menjadi lebih cepat. Saya sangat mendukung penggunaan face recognition digunakan dalam layanan masyarakat yang biasanya antriannya panjang seperti KAI ini. Segala sesuatunya jadi cepat dan tentunya mengurangi antrian.
Mengurangi pekerjaan manusia...ya betul. Namun petugas yang biasanya melakukan verifikasi KTP secara manual, dapat dialokasikan kepada pekerjaan lain yang lebih baik. Misalkan di-training untuk melakukan pekerjan-pekerjaan baru yang kemudian tercipta akibat penerapan teknologi face recognition ini. Saya rasa ini adalah kesempatan bagi para petugas tersebut untuk menjadi lebih baik entah dari sisi jabatan, jenis pekerjaan, keterampilan, atau hal lainnya.
Bagaimana dengan penumpang yang masih menolak menggunakan face recognition?
Perlu dianalisa dulu apa masalah mereka yang sebenarnya.
Jika khawatir privacy terganggu karena berpikir kemanapun mereka pergi akan dikenali wajahnya oleh mesin face recognition, saya rasa mereka perlu bertanya pada diri sendiri, siapakah dia sehingga setakut itu.Â
Apakah dia adalah seseorang yang begitu penting sehingga akan selalu "dipantau" dimanapun berada? Kalaupun iya, seharusnya dia sudah menolak ketika pembuatan e-ktp dimana wajib untuk difoto. Karena dengan foto KTP saja, pemerintah sudah dapat menyebarkan foto wajah mereka jika ternyata mereka masuk DPO (daftar pencarian orang).
Namun demikian itu adalah alasan masing-masing orang, yang di Indonesia masih diberikan pilihan untuk boleh tidak merekam datanya untuk keperluan face recognition seperti di KAI.
Saya rasa, pemerintah melalui petugas-petugas terkait perlu mengedukasi masyarakat mengenai dampak implementasi sebuah bentuk teknologi dan mengenai perlindungan data pribadi, bagaimana hak dan kewajiban masyarakat, dan tentu saja sebelumnya pemerintah harus menjamin keamanan data pribadi rakyatnya.Â
Saya percaya, KAI tidak akan semerta-merta menyebarkan informasi penumpang, tentang penumpang A, B, C, dst yang sedang bepergian menggunakan kereta, menampilkan wajah mereka tanpa aturan, dst.Â
Jika itu terjadi, perlu dipertanyakan masalah penerapan undang-undang data pribadi dalam hubungannya dengan implementasi sebuah bentuk teknologi. Dan saya rasa rakyat berhak menuntut jika data pribadinya disebarkan dengan sembarangan dan tidak bertanggung jawab.
Seandainya kelak data-data penumpang dipakai untuk keperluan lain sehubungan dengan bisnis KAI, saya rasa mereka seharusnya tetap melindung data-data perorangan penumpangnya.
Jika data-data perorangan tersebut sudah dijadikan data "gelondongan" dimana sudah tidak dapat dikenali lagi berdasarkan NIK (No. ID), nama, alamat, serta data pribadi lainnya, maka data tersebut tidak lagi disebut data pribadi.Â
(VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H