Ternyata ada alternatif bagi penumpang yang tidak ingin menggunakan face recognition untuk verifikasi tiket KAI. Mereka diarahkan untuk melalui pintu yang lain.
Sementara pintu yang menggunakan face recognition ada beberapa, namun tetap antri walau tidak panjang. Antri karena banyak penumpang  yang belum terbiasa sehingga mereka sibuk mengatur senyum ketika akan melewati pintu. Eh ternyata tidak lolos face recognition. Entah mengapa!! Dalam hati saya mulai berpikir, jangan-jangan seperti kasus verifikasi passport otomatis di bandara dulu, yang baru beberapa bulan sudah mangrak tak bisa dipakai lagi.
Penumpang di depan saya, seorang wanita yang sibuk mengatur senyum di hadapan kamera tapi tidak lolos sensor juga setelah beberapa kali mencoba, akhirnya cuma berdiri menunggu petugas bereaksi. Saya mulai tidak sabar karena kereta saya tinggal 10 menit lagi akan berangkat.
"Mba, boleh gantian dulu?", akhirnya saya memberanikan diri menyapa. Si mba pun menyingkir agar saya bisa maju. Sekali menatap kamera, saya langsung lolos dan setengah berlari menuju eskalator, khawatir ketinggalan kereta.
Di beberapa gedung perkantoran di Jakarta, face recognition adalah hal yang biasa. Dengan adanya face recognition, akses masuk menjadi lebih cepat. Saya sangat mendukung penggunaan face recognition digunakan dalam layanan masyarakat yang biasanya antriannya panjang seperti KAI ini. Segala sesuatunya jadi cepat dan tentunya mengurangi antrian.
Mengurangi pekerjaan manusia...ya betul. Namun petugas yang biasanya melakukan verifikasi KTP secara manual, dapat dialokasikan kepada pekerjaan lain yang lebih baik. Misalkan di-training untuk melakukan pekerjan-pekerjaan baru yang kemudian tercipta akibat penerapan teknologi face recognition ini. Saya rasa ini adalah kesempatan bagi para petugas tersebut untuk menjadi lebih baik entah dari sisi jabatan, jenis pekerjaan, keterampilan, atau hal lainnya.
Bagaimana dengan penumpang yang masih menolak menggunakan face recognition?
Perlu dianalisa dulu apa masalah mereka yang sebenarnya.
Jika khawatir privacy terganggu karena berpikir kemanapun mereka pergi akan dikenali wajahnya oleh mesin face recognition, saya rasa mereka perlu bertanya pada diri sendiri, siapakah dia sehingga setakut itu.Â
Apakah dia adalah seseorang yang begitu penting sehingga akan selalu "dipantau" dimanapun berada? Kalaupun iya, seharusnya dia sudah menolak ketika pembuatan e-ktp dimana wajib untuk difoto. Karena dengan foto KTP saja, pemerintah sudah dapat menyebarkan foto wajah mereka jika ternyata mereka masuk DPO (daftar pencarian orang).
Namun demikian itu adalah alasan masing-masing orang, yang di Indonesia masih diberikan pilihan untuk boleh tidak merekam datanya untuk keperluan face recognition seperti di KAI.