Ketika semua orang bebas menjadi jurnalis penulis berita, siapakah yang memvalidasi kebenaran beritanya? Apakah pembaca? Sayangnya pembaca juga tidak semuanya cerdas. Ada banyak pembaca yang asal baca atau membaca hanya sesuai selera tanpa merasa perlu mempertanyakan kredibilitas sumber berita.
Benar bahwa teknologi  selalu ditingkatkan, dan secara logika dapat dibangun teknologi untuk mengenali ciri-ciri sumber-sumber berita yang merupakan spam, tidak dapat dipercaya, tidak kredibel, atau tergolong berita murahan, dsj.Â
Teknologi  yang termasuk dalam golongan Artificial Intelligence ini dibangun dengan cara mempelajari dan mengklasifikasikan ciri-ciri spam, hoax, berita murahan, dsj, kemudian mengujinya dengan lebih banyak sumber-sumber berita yang dicurigai masuk dalam golongan tersebut, untuk selanjutnya dengan percaya diri mesin yang dibuat dibiarkan bekerja sendiri mengidentifikasi sumber-sumber berita yang masuk dalam golongan tersebut.
Namun, masalah penggolongan berkualitas atau tidak, dapat berbeda-beda bagi setiap orang/kelompok, karena standarnya bisa ditentukan masing-masing. Jadi peraturan yang dibuat, tentunya harus punya standar dulu, yang berkualitas itu yang bagaimana.Â
Selain itu tidak semua media arus utama "ngotot" mengikuti aturan standar jurnalisme berkualitas. Ada juga yang mengikuti selera pembaca demi memperoleh rating, iklan, dan lain-lainnya demi mencari keuntungan. Bisa dimengerti bahwa media jurnalistik bukan organisasi non profit. Mereka juga perlu mencari keuntungan untuk membayar para pekerjanya, menutup biaya operasional dll.
Bagaimana dengan influencer? Yah...kebanyakan dari mereka juga hanya mengikuti selera pemirsa, demi mendapatkan jumlah viewer, like, subscriber, dll.Â
Ada berapa banyak influencer di negeri ini yang berkualitas? Ada banyak! Tetapi yang kurang berkualitas juga banyak. Coba saja cari di youtube tentang permasalahan yang sedang ramai jadi berita, ternyata video hoax yang mengada-ada juga banyak. Salah siapa? Tidak ada yang salah, karena mereka juga mungkin tidak terikat aturan alias bebas merdeka.Â
Apa efek berita hoax? Yang jelas efeknya kebanyakan jelek. Berita baik dibesar-besarkan pun bisa menjadi kurang baik, demikian pula sebaliknya. Berita hoax biasanya sepihak, tidak netral. Tentunya hal ini akan merugikan pihak lain yang berkepentingan. Tidak hanya dalam hal politik, berita hoax terutama jaman Internet ini, di Indonesia, juga berdampak pada perorangan, terutama public figure.Â
Memang menjadi public figure harus dapat menutup telinga, mata, dan mulut untuk hal-hal yang tidak perlu, tetapi tidak semua orang bisa seperti itu. Ujung-ujungnya mungkin mereka yang tidak kuat akan mundur dari dunia persilatan, namun efek lanjutannya? Siapa yang tahu?!
Belum lagi kelakuan para jurnalis gosip, yang tidak segan-segan mengorek berita dengan cara yang tidak etis. Putri Diana adalah salah satu korbannya. Di Indonesia juga ada yang begitu, walau tidak seberat kejadian Putri Diana.
Dapat dimengerti jika perpres jurnalisme berkualitas ini membuat Google bersuara. Salah satu misi Google membuat informasi mudah diakses dan bermanfaat bagi semua orang. Misi yang baik jika pemberita juga mengisinya dengan hal-hal yang benar, bukan berita hoax.Â
Btw, beberapa waktu yang lalu, kalau buka Google menggunakan aplikasi di smartphone, sudah ada rekomendasi berita-berita yang kebanyakan adalah berita gosip dari sumber-sumber yang kurang dapat dipercaya. Sempat seperti itu, walau sekarang muncul juga rekomendasi bacaan yang lebih berkualitas dari sumber-sumber yang dapat dipercaya.
Jadi sebenarnya apa yang diperlukan? Menandai berita-berita hoax dan memberi sangsi atau memblokir medianya? Atau memberlakukan perpres jurnalisme berkualitas termasuk pada Google agar hanya mengakui dan menerima content yang berkualitas saja. Tidak peduli itu berasal dari media arus utama atau bukan, yang penting berita-berita yang ditampilkan hanyalah yang dianggap berkualitas.
Apapun itu, kebijaksanaan pemerintah harus kita hargai dan laksanakan. Bagaimanapun, berita-berita hoax, sampah, atau yang ngasal, dapat merugikan dan bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi jurnalisme yang sudah berkualitas untuk menurunkan standar kualitasnya.
Namun dari sisi pemerintah pun harus berkomitmen bahwa peraturan berlaku untuk semua dan ada pengawasannya. Jadi bukan sekedar membuat peraturan tetapi tidak ada pengawasan dalam pelaksanaannya.Â
Sebaiknya pemerintah mengimplementasikan AI dalam pengawasannya, untuk mengurangi beban pengawasan yang pasti tidak sederhana dan tidak mudah di Indonesia yang sangat luas ini, dimana masih banyak salah kaprah mengenai pengertian kebebasan dan kemerdekaan. Karena bebas dan merdeka bukan berarti seenaknya tanpa mempertimbangkan orang lain.Â
Semoga para content creator dan para pelaku profesi sejenis dapat meningkatkan keterampilan diri agar tidak tergusur oleh perpres jurnalisme berkualitas. Dan semoga standar kualitas dari sebuah produk jurnalisme tidak hanya tergantung pada selera masyarakat.Â
(VRGultom)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H