Secara pribadi, saya harus mengakui bahwa tinggal dan bekerja di Singapura adalah hal yang saya inginkan setelah saya mengalami tinggal beberapa tahun di sana, meski tidak ada niat berganti kewarganegaraan.Â
Berikut beberapa alasan dari kebanyakan orang yang saya kenal dan juga alasan pribadi, mengapa banyak orang Indonesia menjadikan Singapura sebagai tempat bekerja dan tempat hidup.
Jarak yang Dekat Dengan Indonesia
Lokasi Singapura yang dekat dengan Indonesia membuat penduduk (Indonesia) di Singapura dengan mudah bepergian antara Singapura dan Indonesia dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
Kalau dulu, saya dan kebanyakan teman-teman sering menggunakan pesawat seperti Air Asia, Lion, Jetstar. Sesekali menggunakan pesawat "mahal" sekedar untuk menikmati hasil kerja.
Sekalipun ngeri-ngeri sedap mengunakan pesawat tertentu yang (saat itu) terdengar sering bermasalah, kurang aman, dan kurang dapat dipercaya, tetap saja diminati karena murah.Â
Untuk menghibur diri, biasanya kami bercanda dengan diri sendiri, "Hidup mati di tangan Tuhan! Kalau sudah waktunya, gak naik pesawat itu juga ya bakal kejadian"
Hal ini memudahkan jika rasa rindu pada keluarga muncul.
Beberapa teman yang saya kenal malah bisa pulang sekali seminggu karena keluarga intinya (anak, istri/suami) tinggal di Indonesia.
Bandingkan dengan Australia atau New Zealand, negara tetangga lain yang juga banyak menjadi incaran tenaga-tenaga ahli Indonesia untuk mencari nafkah. Mereka tidak bisa sesering itu pulang ke Indonesia sekadar bertemu keluarga.
Teratur
Keteraturan berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas dalam keseharian. Bisa dibilang disana tidak pernah ada kemacetan lalu lintas. Kalau pun ada, itu adalah kejadian luar biasa dan macetnya gak pernah sampai seperempatnya kemacetan di Jakarta. Paling ketika kendaraan bermotor harus mengurangi kecepatan, itu sudah dikategorikan "macet".
Mengapa bisa begitu?
Kendaraan bermotor disana harganya termasuk termahal di dunia. Memiliki kendaraan keluarga atau pribadi tidak semudah orang Indonesia memiliki mobil maupun motor.Â
Selain itu, pajaknya juga mahal. Parkirnya juga konon mahal. Untungnya hal ini diimbangi dengan public transportation yang memadai. MRT dan bus saling terintegrasi. Busnya juga bagus dan teratur. Penumpang dan supir saling menghormati.Â
Begitu juga, pejalan kaki dan pengendara sama-sama mengikuti aturan. Mereka tahu hak dan kewajiban masing-masing, sehingga semuanya terasa nyaman, efisien dan efektif. Secara keseluruhan infrastruktur juga mendukung keteraturan ini.
Jangan coba-coba berdalih kena macet ketika janjian dengan orang tetapi tidak datang tepat waktu. Pasalnya, MRT atau bus sangat jarang bermasalah dan waktu tempuh dari satu titik ke titik lain sudah ketahuan. Jalur MRT dekat ke perumahan penduduk. Biasanya kalau public transportation bermasalah, seluruh Singapura bakal tahu dengan cepat.
Keteraturan seperti ini tentu saja membuat hidup lebih efisien dan efektif walaupun tuntutan menjadi tinggi. Orang Indonesia cenderung lebih slow hidupnya karena berbagai hal, salah satunya kemacetan lalu lintas, tata krama yang terlalu bertele-tele, danlain sebagainya. Walau sedang tidak macet, kebanyakan orang Indonesia sering berhalusinasi sedang macet.Â
"Maaf telat, tadi macet banget!", begitu alasan yang sering dilontarkan ketika membuat orang lain menunggu. Padahal emang berangkatnya telat!
Untuk sebagian besar orang yang sudah terbiasa dengan keteraturan seperti di Singapura, kesantaian hidup di Indonesia malah membuat hidup menjadi tidak efektif dan bisa bikin stres.
Saya pernah mengalami ini. Jadwal kerja yang sudah diatur sedemikian rupa menjadi kacau karena kebiasaan anggota team yang seenaknya, kurang profesional, serta tidak menghargai waktu orang lain. Akibatnya lembur sampai malam hari menjadi kebiasaan dan dianggap sesuatu yang wajar. Padahal sama sekali bukan hal yang wajar. Besoknya, sudah bisa dipastikan mereka baru akan datang siang hari dan lanjut lembur lagi sampai tengah malam. Cara kerja yang sama sekali tidak efektif dan membuat hidup tidak berkualitas!
Relatif Aman
Tingkat kriminalitas di Singapura sangat rendah, namun demikian para petugas keamanan tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Sekali ada kejadian yang tidak diinginkan, misalkan pencurian di rumah penduduk, jambret, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya, sudah bisa dipastikan tidak lama kemudian akan ada papan peringatan yang menyatakan, "Di tempat ini sudah terjadi sekian kali kasus kecurian/kecelakaan, harap berhati-hati!". Bukti bahwa Laporan masyarakat ditanggapi dengan baik. Tentunya, juga ada tindak lanjut untuk pencegahan kejadian berulang.
Berjalan kaki atau berkendaraan umum di Singapura relatif aman, sekalipun itu malam hari. Infrastruktur jalanan dan lingkungan sekitar, serta peraturan-peraturan yang benar-benar dijalankan membuat orang merasa aman, walaupun bukan tanpa kejadian kriminal sama sekali.
Di Singapura tidak ada istilah kelompok mayoritas, maka mereka yang menentukan aturan. Setiap individu memiliki hak yang sama terlepas dari apakah dia orang kaya atau miskin, kelompok mayoritas atau bukan, punya jabatan atau tidak. Tidak juga tergantung warna kulit atau usia.
Satu hal yang penting, di dunia kerja umumnya tidak tergantung usia, jenis kelamin, etnis, agama. Selama masih sanggup dan dan dapat melakukan pekerjaannya, semua orang punya hak yang sama. Yang mana di Indonesia, masih ada diskriminasi terhadap usia.
Sebagai contoh, saya pernah dihubungi oleh head hunter dari India untuk suatu posisi di Jakarta. Setelah berdiskusi panjang lebar via telpon, orang itu mengatakan stafnya dari Indonesia akan menghubungi untuk detail prosedur yang harus saya jalani. Dan ketika staf yang dimaksud menghubungi saya dan meminta KTP, tanpa rasa bersalah orang itu kemudian berkata, "Ibu usianya sudah segini, kami nyarinya yang masih muda!" Prettt....emang siapa yang melamar? Bukannya disitu yang kontak duluan?! Saya pun mengontak head hunter yang pertama dan komplain atas perkataan orang yang dikatakan sebagai stafnya itu. Dan dia pun meminta maaf atas sikap stafnya dan mengoreksi bahwa tidak ada batasan usia.
Lingkungan yang Bersih dan Terjaga
Lingkungan yang terjaga dengan baik membuat sehat penduduknya. Kondisi tubuh yang sehat tentu membuat hal-hal yang lainnya dapat dilakukan dengan baik.
Tidak hanya bersih dari sampah, tetapi juga kualitas udara yang terjaga dengan baik.
Masih ingat kasus asap akibat kebakaran hutan di Indonesia yang efeknya sampai ke Singapura?
Setiap periode tertentu dalam masa itu, selalu ada update mengenai kualitas udara. Jika kualitas udara melebihi ambang batas aman, maka akan ada larangan ke luar rumah dan wajib menggunakan masker. Para pekerja dipulangkan agar bekerja dari rumah saja (WFH). Dan mereka rajin memantau kualitas udara. Ribet memang, tetapi saya rasa itulah prosedur keamanan lingkungan yang benar.
Kalau jalan-jalan ke Singapura, coba perhatikan selokan-selokan besar tempat air mengalir. Bersih dan airnya jernih! Â Tidak ada sampah sama sekali. Kalau pun ada, itu adalah kondisi tidak wajar dan masyarakat berhak melaporkan.
Coba rasakan ketika baru sampai di Singapura, setelah keluar dari airport, perhatikan langitnya. Rasanya segar melihat birunya langit.
Lingkungan Kerja yang Profesional
Setiap orang memiliki keahliannya masing-masing, dimana setiap hal detail diperhatikan, bukan diabaikan. Karena semua sudah ada prosedur kerjanya (SOP) yang harus diikuti. "Tidak ada hal yang terlalu kecil", begitulah semboyan salah satu perusahaan tempat saya bekerja dulu. Meski awalnya cukup sulit buat saya menyesuaikan diri, pada akhirnya saya setuju, pengabaian akan sesuatu hal karena meremehkan hal yang dianggap kecil, dapat berakibat besar dan merugikan baik diri sendiri maupun orang lain.
Meski bukan tanpa kekurangan dan Singapura pernah dikategorikan sebagai negara yang tingkat stresnya paling tinggi, masih banyak hal lain yang membuat banyak orang betah tinggal di Singapura dan merasa lebih baik daripada menetap di Indonesia. Gaji yang relatif tinggi dan lingkungan hidup yang berkualitas, serta hal-hal yang disebutkan di atas adalah beberapa hal yang membuat orang memilih Singapura daripada Indonesia.
***
Lantas mengapa mereka memilih berganti kewarganegaraan? Menetap doang kan bisa tanpa harus berganti kewarga negaraan?!
Betul! Tetapi ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk berganti kewarganegaraan. Diantaranya hal-hal berikut:
Tidak Ada Kepastian Bagi Orang Asing
Ada prosedur-prosedur yang harus dilewati untuk bisa menetap lama di sana, yang tidak diberlakukan bagi warga negara Singapura. Misalkan pembaharuan ijin kerja atau pembaharuan ijin tinggal permanent resident (PR) yang ada masa berlakunya.Â
Pembaharuan ini dapat dipengaruhi oleh peraturan-peraturan baru yang tidak terprediksi. Sebagai contoh, kenaikan gaji bagi pekerja asing yang memberatkan pengusaha. Jika perusahaan tidak sanggup, terpaksa mereka harus mem-PHK karyawan asing dan mempekerjakan penduduk lokal. Artinya tidak ada kepastian bagi orang asing. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak teman-teman yang saya kenal, pada akhirnya memilih menjadi warga negara Singapura.
Passport Singapura Lebih Diterima di Banyak Negara
Passport Singapura diakui di banyak negara. Hal ini memudahkan seseorang untuk traveling ke negara-negara dimana dengan passport Singapura, mereka tidak perlu mengajukan permohonan visa untuk sekedar berlibur. Pergi ya pergi aja, bebas merdeka seperti orang Indonesia pergi ke Singapura.
Alasan Membeli Rumah
Orang asing tidak berhak membeli HDB (Housing & Development Board) di Singapura. HDB adalah hunian penduduk yang hanya dapat dibeli oleh warga negara Singapura, dan pembeliannya pun diatur sedemikian rupa oleh pemerintah setempat.
Harga rumah di Singapura tergolong mahal. Warga asing hanya boleh membeli condominium yang harganya mahal.
Sementara itu, warga negara Singapura boleh membeli HDB (Perumahan yang dibangun pemerintah), yang harganya lebih murah. Meski lebih murah, harga HDB ini juga untuk sebagian orang mungkin tidak terjangkau, sehingga harus membeli dengan cara meminjam uang ke bank.Â
Untuk peminjaman uang ini ada perhitungan yang menyangkut faktor usia. Sama seperti di Indonesia, meminjam uang ke bank akan diperhitungkan apakah kira-kira dengan usia saat ini akan mampu menyelesaikan kewajiban membayar hingga lunas?
Faktor ini menyebabkan seseorang buru-buru mengajukan menjadi warga negara sebelum usia terlalu tua untuk dipertimbangkan mendapatkan pinjaman bank untuk membeli rumah.
Itulah beberapa alasan mengapa banyak teman-teman yang pada akhirnya memutuskan menjadi warga negara Singapura.Â
Semoga pemerintah Indonesia dapat mengimbanginya untuk mencegah lebih banyak talenta Indonesia melepaskan kewarga negaraannya. (VRGultom)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI