Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wisuda Itu Tidak Wajib

19 Juni 2023   22:36 Diperbarui: 20 Juni 2023   06:28 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang mulai dari kelulusan TK sampai S3 ada acara wisudanya. Padahal dulu wisuda itu cuma untuk level universitas saja atau sekolah setelah SMA. Sejak kapankah budaya ini dimulai?

Dulu, buku pelajaran bisa dilungsurkan ke adik kelas yang mungkin juga saudara dalam satu keluarga, sehingga orang tua murid tidak perlu lagi beli buku baru untuk anak-anaknya yang bergantian menduduki kelas yang sama. Kemudian mulailah jaman gonta-ganti buku setiap ganti mendikbud. Pernah juga ada lelucon, anak sekolah (pada suatu masa), pusing menghapalkan daftar nama pejabat kabinet pembangunan karena berubah-ubah dalam jangka pendek. Sebelumnya cukup dua nama presiden yang dihapal, yaitu nama presiden pertama dan kedua. Karena hanya ada dua presiden selama waktu yang cukup lama. Menterinya pun cenderung itu-itu lagi. 

Eh sekarang, jubah wisuda gonta-ganti juga. Gak mungkin kan jubah wisuda TK dipakai di SD, SMP, SMA, dan universitas? Karena masa-masa itu adalah masa-masa pertumbuhan, dimana tubuh anak membesar dan meninggi. Jadi tidak mungkin baju jaman TK dipakai sampai ke SMP, SMA dan seterusnya.

Rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga di jaman ini adalah dua orang, bahkan banyak juga yang cuma satu orang. Tetapi dengan berkurangnya rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga, bukannya berkurang pula jumlah biaya pendidikan. Dulu punya tujuh anak, bahkan sepuluh anak dalam satu keluarga, biaya pendidikan dan kesejahteraan keluarga jadi persoalan. Ternyata sekarang biaya pendidikan anak tetap jadi masalah, walaupun orang tua tidak lagi harus membiayai sampai 10 anak. Ternyata benar, setiap masa punya kesusahannya sendiri.

Wisuda bukanlah sesuatu yang wajib, tapi lulus itu wajib kalau tidak mau DO (drop out) atau dikeluarkan dari sekolah. Kalau jaman dulu, dimana wisuda hanya berlaku untuk kelulusan tingkat universitas, wisuda itu serasa tanda bahwa sudah saatnya seorang siswa (yang sudah di level mahasiswa) mengimplementasikan ilmu yang sudah didapat dari sejak di level SD, SMP, SMA, dan universitas, dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dalam dunia kerja atau di dalam keluarga. Sementara TK, menurut saya, adalah persiapan sekolah. Namanya juga taman kanak-kanak/taman bermain, itulah tempat anak-anak yang belum sekolah mulai mencoba "ke luar rumah" dan beradaptasi dengan teman-temannya.

Wisuda untuk siswa TK, SD, SMP, SMA mungkin malah wajib secara budaya, karena orang tua jaman sekarang cenderung tidak mau anak-anaknya "terkecualikan" dari "gaya hidup" di lingkungan sekolahnya. Kalau satu atau dua anak tidak ikut wisuda, mungkin bakal ada rasa terkucilkan karena beda sendiri. Apalagi anak-anak kecil di TK atau SD. Di level universitas, seorang siswa yang tidak ikut wisuda bisa lebih cuek saja, gak peduli. Toh tidak ada pengaruhnya ke nilai akademik. Kalaupun sekolah mewajibkan dengan konsekwensi ijasah ditahan, gak ada undang-undangnya mereka boleh menahan ijasah karena tidak ikut wisuda. Saya sendiri tidak ikut wisuda ketika lulus kuliah pertama kali. Dan tidak ada masalah.

Tidak salah mengadakan acara wisudaan anak sekolah di berbagai jenjang pendidikan, selama orang tua mampu membiayai anaknya wisudaan yang jumlahnya bisa saja berbeda-beda untuk masing-masing sekolah. 

Biaya itu seharusnya tergantung kesepakatan para orang tua dan dan pihak sekolah. Jika ada para wakil orang tua yang menjembatani antara orang tua murid dan sekolah, sebaiknya mereka tidak mengambil keputusan sendiri, tetapi membicarakan terlebih dahulu dengan semua orang tua, baru kemudian menyampaikan kepada pihak sekolah. Karena kondisi ekonomi masing-masing keluarga bisa berbeda. Patungan lima juta rupiah untuk wisuda per anak mungkin tidak jadi masalah untuk sebagian orang tua murid di sekolah elit yang mayoritas orang-orang kaya, tetapi itu pun tetap tidak dapat disama ratakan. Karena mayoritas tidak berarti seluruhnya. Mungkin ada anak yang masuk ke sekolah itu bukan karena mampu secara finansial, tetapi karena mendapat bea siswa. Mungkin ada "orang kaya" yang kebetulan kondisi ekonominya sedang tidak baik-baik saja, dst. 

Seharusnya tetap ada toleransi di sini dengan tidak menyama ratakan dan berasumsi bahwa semua pasti sanggup dan mau. Jangan pula ada yang berasumsi: demi anak berapapun pasti akan diusahakan. Betul, demi kebaikan anak, apapun itu, biasanya orang tua akan mengusahakan. Tetapi janganlah hal itu menjadi alasan untuk memungut iuran dari orang tua murid tanpa kesepakatan terlebih dahulu. Bagaimanapun pengeluaran keluarga harus diatur dengan bijak, tidak bisa asal mengeluarkan dengan alasan "demi anak".

Perpisahan dan ucapan terima kasih kepada guru-guru lebih cocok untuk sekolah tingkat TK, SD, SMP, SMA daripada wisuda niru-niru mahasiswa yang baru lulus kuliah. Ucapan selamat dan syukur atas kelulusan juga penting, tetapi sebaiknya biayanya disepakati dulu dengan semua pihak terkait.

Siswa SMA sudah tahu mana biaya yang wajar, mahal, atau terlalu mahal. Namun, secara keuangan mereka masih tergantung orang tua. Sementara mahasiswa, selain sudah dapat membedakan antara wajar, mahal, dan kemahalan, sudah berani protes sendiri tanpa melibatkan orang tua meskipun mayoritas mereka pun masih tergantung pada orang tua secara keuangan.

Kalau siswa TK, SD, dan SMP?? Sudah jelas orang tua yang langsung turun tangan. Anak-anak itu belum dapat membedakan mana jumlah yang wajar, mahal, atau terlalu mahal untuk suatu acara wisuda atau kelulusan siswa. Yang mereka tahu adalah ikut arahan bapak/ibu guru saja. Jadi jelas di level itu, orang tua benar-benar harus dilibatkan untuk menentukan biaya kelulusan siswa entah itu perpisahan, wisudaan, karya wisata, dll. 

Pihak sekolah tidak bisa seenaknya memungut uang dari orang tua murid tanpa kesepakatan bersama. Itupun seharusnya ada laporan pertanggungjawaban penggunaan uang yang dipungut dari orang tua murid. Sebaliknya orang tua pun sebaiknya berani buka mulut mempertanyakan biaya-biaya tambahan dalam bidang pendidikan ini jika dirasa memberatkan.

Untuk sekolah yang mayoritas muridnya dari kalangan ekonomi biasa-biasa saja, sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan budaya wisuda sekolah kalau belum di jenjang universitas, jika dirasa akan memberatkan para orang tua murid.

Wisuda perguruan tinggi saja tidak wajib, apalagi wisuda sekolahan anak. (VRGultom)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun