Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wanita, Emosi dan Logika, Serta Kepercayaan Diri

23 April 2023   23:52 Diperbarui: 24 April 2023   15:04 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita Lebih Menggunakan Emosi daripada Logika? 

Wanita terkenal lebih menggunakan emosi. Dimana menurut beberapa sumber, emosi ini mengurangi logika. Benar juga sih. Emosi, yang sering disebut juga sebagai perasaan, termasuk didalamnya pengalaman tentang rasa cinta, benci, marah, kepercayaan, sukacita, panik, duka cita, takut, adalah perasaan yang kuat yang timbul dari suasana hati dan hubungan antar manusia.

Baik laki-laki maupun perempuan memiliki emosi. Namun bagi perempuan emosi ini lebih dominan. Makanya perempuan lebih dapat mengekspresikan semua rasa yang tercakup dalam emosi tadi. Menurut saya ini adalah suatu kelebihan. Namun tergantung orangnya juga bagaimana dia mengolah emosi. Jika salah mengolah bisa menjadi kekurangan, jika diolah dengan benar maka dapat menjadi kelebihan.  

Benarkah emosi mengurangi logika? Kita ambil contoh, ketika jatuh cinta, baik laki-laki maupun perempuan, cenderung mengesampingkan logika karena dikuasai perasaan alias emosi. Konon katanya ketika orang jatuh cinta, tahi kucing pun rasa coklat. Logikanya dimana coba? Sekalipun cinta itu buta, tahi kucing gak mungkin rasa coklat.

Contoh lain, jika ada dua orang bertengkar, orang yang menggunakan logika lebih bisa meredam emosi. Sedangkan jika keduanya lebih mengedepankan emosi, yang terjadi adalah sahut menyahut saling berusaha memposisikan diri sebagai pihak yang benar sementara yang lain adalah pihak yang salah.

ilustrasi wanita cerdas | www.fedhealth.co.za
ilustrasi wanita cerdas | www.fedhealth.co.za

Perempuan dan Lelaki Punya Hak dan Kewajiban yang Sama Dalam Hal Mencari Nafkah

Jaman dulu, banyak anak perempuan yang "disengaja" tidak mendapatkan pendidikan yang sama dengan pria karena stereotip bahwa perempuan identik dengan urusan domesik rumah tangga, seperti memasak, membesarkan anak, membersihkan rumah, dsj. 

Terkesan bahwa pekerjaan domestik rumah tangga adalah hanya tanggung jawab wanita/istri saja. Padahal itu adalah tanggung jawab bersama seluruh anggota keluarga. 

Sah-sah saja jika ada pembagian tugas, misalkan suami yang bekerja mencari uang untuk keperluan rumah tangga sementara istri yang bertanggung jawab dalam urusan domestik. Tetapi bukan berarti istri menjadi mutlak tidak boleh membangun karir di luar rumah, dan hanya berhak bekerja di rumah saja untuk keperluan internal keluarga.

Perempuan juga berhak membangun karir di luar rumah baik atas keinginan sendiri maupun karena "terpaksa". Terpaksa ini mungkin saja karena suami atau orang tua sakit sehingga tidak ada lagi yang dapat mencari nafkah, sementara hidup butuh biaya. Atau bisa juga karena bercerai. Intinya karena harus menghidupi rumah tangga, baik itu untuk diri sendiri atau untuk seluruh anggota rumah tangga. 

Dan resiko seorang perempuan terkondisikan sebagai pencari nafkah itu pasti ada. Maka jelas sebenarnya perempuan juga perlu berpendidikan karena resiko untuk menjadi pencari nafkah itu bisa dikatakan sama dengan lelaki. Selain untuk mencari nafkah, wanita juga punya hak yang sama untuk mengembangkan diri dengan cara yang dia sukai. Kalau yang disukai itu adalah menjadi full time ibu rumah tangga tentu tidak salah, begitu pun jika dia memilih untuk menjadi wanita karir.

Jenis Pekerjaan yang Digeluti Wanita

Kalau dulu jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan perempuan untuk mencari nafkah tidak banyak dan tidak jauh-jauh dari urusan dapur dan mengurus rumah tangga. Misalnya menjadi pembantu rumah tangga, pedagang makanan hasil masakan sendiri, penjahit pakaian, penenun kain, pengolah hasil tani (penumbuk padi, penjual sayur hasil kebun), dll. Itu pun dilakukan tidak secara professional  dan sering dianggap sekedar "membantu" mencari tambahan untuk dapur.

Kini dengan kesadaran bahwa perempuan juga perlu berpendidikan tinggi, jenis-jenis pekerjaan yang dapat digeluti wanita pun menjadi sama beragamnya dengan pria. Ada yang menjadi pebisnis, ahli IT, penulis, presiden, menteri, pengajar, dan ahli-ahli lainnya. Dan tidak sedikit dari para wanita yang berhasil dalam karirnya. Berhasil dalam arti cukup diperhitungkan dalam bidang yang digeluti.

Jadi Apakah Emosi Tetap Lebih Dikedepankan oleh Para Kartini Indonesia Zaman Now? 

Tidak dapat dipungkiri bahwa ada waktu-waktu tertentu dimana emosi lebih bermain pada wanita. Namun selebihnya tergantung kepada kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam mengelola emosinya. Tentunya jika wanita hanya dan selalu mengedepankan emosi tanpa logika, bisa dipastikan dia tidak akan mudah diterima dalam lingkungan pekerjaannya dan tidak akan bertahan lama dalam pekerjaannya di luar rumah. Karena dunia pekerjaan jaman now yang digeluti kaum wanita bersama-sama dengan kaum pria juga punya batas toleransi dalam mengerti  dan menerima emosi wanita. 

Jangankan di lingkungan pekerjaan dimana (mestinya) sudah ada kesetaraan antara pria dan wanita, di lingkungan rumah pun, wanita yang lebih menonjolkan emosi negatif tidak akan membuat keluarga damai sejahtera, kecuali orang serumah panjang sabar dan penuh pengertian. 

Saya rasa makin kesini, para wanita Indonesia juga sudah dapat mengelola emosi dengan baik dan juga menggunakan logika pada tempatnya.  

Konon makin tinggi IQ seseorang makin tinggi kemampuan berempati terhadap orang lain.

Anak-anak yang sangat cerdas cenderung untuk mengembangkan tingkat keterampilan empati yang lebih tinggi karena mereka lebih peka  terhadap isyarat emosional orang lain dan juga lebih mampu memahami pemikiran dan perasaan orang lain (Hay, Gross, Hoekman, & Rogers, 2007; Lovecky, 2009).

Pendidikan (tidak hanya pendidikan formal di sekolah), dapat membantu membangun dan mengembangkan kecerdasan. Maka orang yang berpendidikan biasanya EQ nya juga tinggi. Berpendidikan dalam hal ini tidak selalu ditunjukan dengan ijasah, karena kenyataannya ijasah juga bisa dibeli. 

Pendidikan juga bisa didapat secara autodidak dengan memperhatikan lingkungan sekitarnya, membuka diri terhadap lingkungan namun tetap punya kemampuan untuk memfilter mana yang baik dan mana yang buruk.

Jaman ibu R.A Kartini dulu, mungkin anak perempuan tidak seleluasa sekarang dalam mengexplorasi kehidupan, sehingga ketika mereka tidak dikirim ke sekolah formal pun mereka tidak terlalu banyak memiliki kesempatan untuk belajar secara autodidak. Makanya banyak yang berpikir bahwa perempuan itu cuma dilahirkan, mengurus rumah tangga, dan melayani suami. Bahkan sekarang pun masih ada perempuan-perempuan dengan pola pikir seperti itu meski tidak banyak.

Ibu R.A Kartini adalah sosok perempuan yang membuka jalan bagi para perempuan Indonesia dengan memperjuangkan kesetaraan antara wanita dan pria melalui pendidikan. Sekarang ini apakah kesetaraan itu sudah didapat? Yang jelas sudah jauh lebih baik, meskipun belum sepenuhnya kesetaraan itu diakui. 

Sedikit banyak masih ada orang-orang yang menganggap wanita lebih rendah daripada pria, maka mereka menomor duakan wanita dalam hal-hal yang tidak seharusnya, atau bahkan memperlakukan wanita dengan tidak semestinya. Dan ternyata hal seperti itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Contohnya dugaan kasus Donald Trump. Bahkan masih ada negara dengan budaya yang menempatkan wanita lebih rendah daripada pria.

Maka, menurut saya, sebagai kelanjutan dari perjuangan Ibu R.A Kartini, tugas kita adalah membuat para wanita Indonesia percaya diri dengan kecerdasannya, sehingga mampu berdiri tegak di lingkungan manapun, tidak membiarkan ada seorang pun yang memandang wanita lebih rendah daripada pria, dan sanggup mengusahakan perubahan ke arah yang lebih baik di manapun berada, termasuk melalui tulisan di Kompasiana. Selamat hari Kartini! (VRGultom)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun