Biaya validasi NIK Rp 1.000,- per sekali akses akan dibebankan kepada lembaga sektor swasta yang profit oriented, misalnya lembaga perbankan, asuransi, pasar modal, dan sekuritas. Begitulah kesimpulan saya dari berita mengenai "Akses NIK Tarifnya Rp 1.000, Apakah Masyarakat Umum Harus Bayar?"
Validasi adalah proses pengecekan data, apakah datanya valid atau tidak. NIK yang tidak valid tentunya tidak akan terdaftar di dalam database Dukcapil, dan ada kemungkinan KTP dengan NIK tersebut palsu. Sebaliknya KTP asli, NIK-nya pasti terdaftar dalam database kependudukan.
Validasi NIK diperlukan dalam banyak hal, misalnya untuk keperluan investasi, tabungan, dan asuransi, kesehatan, pendidikan, pembuatan dokumen perjalanan, dan masih banyak lagi.
Lantas bagaimana lembaga-lembaga tersebut dapat terhubung dengan database kependudukan? Apakah dengan demikian data-data lainnya dapat diakses juga oleh lembaga-lembaga lain yang melakukan validasi data?
Itu tergantung sejauh mana akses yang diberikan. Menurut berita yang saya baca, sifatnya hanya untuk validasi apakah benar NIK yang dimaksud terdaftar atau tidak. Mungkin ditambah dengan nama pemilik NIK untuk meyakinkan kalau NIK yang diberikan adalah untuk nama yang benar.
Dikabarkan, akses ke database kependudukan tidak diberikan kepada perorangan, tetapi hanya kepada lembaga-lembaga berbadan hukum.
Bagaimana jika petugas admin yang menginput data NIK melakukan kesalahan? Bukankah akses ke database kependudukan tetap jalan? Artinya Rp 1.000,- dibayarkan, kalau salah lagi, bayar lagi. Nah kalau 10 kali salah, artinya harus bayar Rp 10.000,- ataukah pembayaran Rp 1.000,- hanya untuk validasi yang sudah "oke" saja? Sedangkan NIK yang terbukti tidak valid tidak perlu membayar?Â
Daripada pusing, tidak perlulah kita pikirkan. Biarkan itu menjadi urusan Dukcapil dan lembaga-lembaga yang bekerja sama asalkan tidak dibebankan kepada pelanggan saja. Tidak logis bukan jika karena petugas admin salah input, dan kesalahan itu dibebankan kepada pelanggan yang tidak bersalah, meskipun itu hanya Rp 1.000,- per sekali validasi.
Jadi wajarkah memungut biaya dari setiap satu kali akses ke database kependudukan sebesar Rp 1.000,-?
Kenyataannya IT itu memang tidak murah. Dari segi tenaga ahli, pemeliharaan hardware dan software, tidaklah murah.Â
Biaya tenaga ahli mungkin lama-kelamaan akan berkurang, karena jika aplikasi sudah jadi, maka yang bertanggung jawab adalah para tenaga pendukung yang melakukan pemeliharaan sistem, yang tugasnya lebih ringan dibandingkan para tenaga ahli yang memulai membangun aplikasi dari nol.
Dari sisi hardware, lama-kelamaan, kebutuhannya akan semakin meningkat alias bertumbuh. Karena datanya juga tumbuh.Â
Semakin besar data yang disimpan, semakin membutuhkan tempat penyimpanan yang lebih besar. Apalagi data kependudukan Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar 273 juta jiwa (sumber: dukcapil.kemendagri.co.id), dan itu akan bertambah terus seiring laju pertumbuhan penduduk), apalagi jika nanti harus running dalam metaverse.
Dari sisi aplikasi, seiring perkembangan kebutuhan dan tumbuhnya aplikasi-aplikasi lain yang dibutuhkan, mungkin akan perlu ada penambahan fitur-fitur, yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.Â
IT memang tidak murah, tetapi jika dihitung secara keseluruhan, dari sisi waktu, ketepatan, dan pencegahan tindakan suap, percaloan dan korupsi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya teknologi membuat segala sesuatunya lebih efisien dan efektif. Yang tadinya harus dikerjakan oleh 10 orang, dengan teknologi IT, biaya tenaga kerja bisa dipangkas.Â
Tenaga kerja yang sebelumnya dialokasikan untuk melakukan pekerjaan berulang juga bisa lebih mengembangkan diri.Â
Dari sisi kepuasan konsumen pun tentu menjadi lebih baik. Yang tadinya perlu mengalokasikan waktu minimal satu hari penuh tanpa kejelasan, dengan teknologi IT menjadi dapat mengira-ngira waktu yang harus dialokasikan berapa lama dan seterusnya.
Jadi menurut saya wajar saja jika untuk dapat "bekerja sama" dengan Dukcapil" dalam hal validasi NIK, dibebankan biaya kepada lembaga-lembaga yang profit oriented.
Namun bagaimana jika biaya itu kemudian dibebankan kepada konsumen? Apalagi kalau NIK yang hendak divalidasi ternyata tidak terdaftar entah karena salah input atau memang tidak terdaftar karena NIK palsu. Rasanya kurang bisa diterima.
Alasannya?
Efektivitas dan efisiensi memang dibutuhkan oleh semua pihak. Tetapi tetap saja biaya pengembangan teknologi adalah tanggung jawab lembaga, bukan konsumen. Dalam arti, kalaupun dibebankan kepada konsumen cukup Rp 1.000,- saja, mau salah input atau tidak. Karena salah input bukan menjadi tanggung jawab konsumen. Pembebanan biaya ini sebaiknya disatukan dalam bentuk biaya admin, seperti di bank.
Apakah sistem validasi NIK yang sekarang akan mengalami perubahan? Bisa jadi. Dari sisi lembaga yang mengakses dan juga dari sisi Dukcapil.Â
Dari sisi Dukcapil, mereka perlu menghitung berapa kali sebuah lembaga mengakses database, dan kemudian mengirimkan akumulasi tagihan. Tidak mungkin kan setiap akses langsung transfer Rp 1.000,- ke rekening Dukcapil. Dari sisi lembaga yang mengakses pun tentu perlu menghitung biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran validasi NIK ini.Â
Untuk melakukan perubahan-perubahan ini perlu biaya juga, karena untuk mengubah sebuah aplikasi, sekalipun kecil, tetap perlu tenaga ahli. Dan itu tidak gratis.
Jadi memang teknologi itu tidak murah walaupun pada akhirnya akan membuat segala sesuatunya lebih efisien dan efektif, yang ujung-ujungnya adalah efisiensi biaya juga. (VRGultom)
*) Menyalin sebagian atau seluruh isi artikel dan mempublikasikannya pada media lain, selain Kompasiana.com, adalah pelanggaran hak cipta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H