Biaya tenaga ahli mungkin lama-kelamaan akan berkurang, karena jika aplikasi sudah jadi, maka yang bertanggung jawab adalah para tenaga pendukung yang melakukan pemeliharaan sistem, yang tugasnya lebih ringan dibandingkan para tenaga ahli yang memulai membangun aplikasi dari nol.
Dari sisi hardware, lama-kelamaan, kebutuhannya akan semakin meningkat alias bertumbuh. Karena datanya juga tumbuh.Â
Semakin besar data yang disimpan, semakin membutuhkan tempat penyimpanan yang lebih besar. Apalagi data kependudukan Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar 273 juta jiwa (sumber: dukcapil.kemendagri.co.id), dan itu akan bertambah terus seiring laju pertumbuhan penduduk), apalagi jika nanti harus running dalam metaverse.
Dari sisi aplikasi, seiring perkembangan kebutuhan dan tumbuhnya aplikasi-aplikasi lain yang dibutuhkan, mungkin akan perlu ada penambahan fitur-fitur, yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit.Â
IT memang tidak murah, tetapi jika dihitung secara keseluruhan, dari sisi waktu, ketepatan, dan pencegahan tindakan suap, percaloan dan korupsi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya teknologi membuat segala sesuatunya lebih efisien dan efektif. Yang tadinya harus dikerjakan oleh 10 orang, dengan teknologi IT, biaya tenaga kerja bisa dipangkas.Â
Tenaga kerja yang sebelumnya dialokasikan untuk melakukan pekerjaan berulang juga bisa lebih mengembangkan diri.Â
Dari sisi kepuasan konsumen pun tentu menjadi lebih baik. Yang tadinya perlu mengalokasikan waktu minimal satu hari penuh tanpa kejelasan, dengan teknologi IT menjadi dapat mengira-ngira waktu yang harus dialokasikan berapa lama dan seterusnya.
Jadi menurut saya wajar saja jika untuk dapat "bekerja sama" dengan Dukcapil" dalam hal validasi NIK, dibebankan biaya kepada lembaga-lembaga yang profit oriented.
Namun bagaimana jika biaya itu kemudian dibebankan kepada konsumen? Apalagi kalau NIK yang hendak divalidasi ternyata tidak terdaftar entah karena salah input atau memang tidak terdaftar karena NIK palsu. Rasanya kurang bisa diterima.
Alasannya?