Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ana's Story: Kisah Seorang Remaja Penderita HIV/AIDS

3 Desember 2019   20:54 Diperbarui: 4 Desember 2019   20:33 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ana adalah seorang gadis, di Amerika Latin, yang terinfeksi HIV dari ibunya. Ibunya terinfeksi virus itu dari ayah tirinya yang memperkosanya ketika dia masih gadis. Ibu Ana meninggal ketika Ana masih kecil. Ia meninggalkan Ana bersama dengan adiknya, Isabela, dan ayahnya yang juga terinfeksi HIV dari istrinya.

Karena ayahnya harus bekerja, Ana dan adiknya dititipkan kepada nenek dari ayahnya, yang tinggal bersama dengan kekasihnya, Ernesto. Nenek Ana memberi obat kepada Ana untuk diminum setiap hari dan memerintahkan Ana untuk tidak bicara tentang hal itu kepada siapapun, dengan ancaman Ana akan disingkirkan dari lingkungannya jika sampai orang lain tahu bahwa ia terinfeksi HIV. 

Ana yang tidak mengerti mengenai AIDS yang dideritanya bertanya mengapa, namun sang nenek hanya memerintahkan untuk tutup mulut saja. Dan jadilah masalah AIDS yang dideritanya menjadi rahasia Ana. Ia tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun termasuk sahabat terdekatnya.

Tinggal bersama neneknya tidak membuat Ana aman, karena ia dan adiknya beberapa kali mendapat pelecehan sexual dari Ernesto, kekasih neneknya. Awalnya Ana melaporkan pelecehan itu kepada neneknya namun neneknya tidak mempercayainya dan mengancam Ana untuk tidak mengatakan hal itu kepada siapapun.

Ketika ayah Ana jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia karena AIDS, Ana marah dengan situasi itu dan mulai memberontak, hingga akhirnya Ana dan adiknya harus pindah ke rumah bibi Sonia, saudara ayahnya. Tinggal bersama bibinya tidak juga membuat Ana dan adiknya lebih baik. Ana kerap mendapat perlakuan kasar dari bibi dan sepupunya. Semua itu membuat Ana merasa menjadi beban yang tidak diinginkan dan mulai percaya bahwa ia memang pantas mendapat perlakuan kasar dan menyakitkan itu. Dia percaya bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya. Apalagi neneknya memerintahkan Ana untuk tutup mulut mengenai AIDS yang dideritanya.

Seorang guru disekolah Ana akhirnya berbicara dengan Ana karena kerap melihat tubuh Ana yang penuh lebam. Ana mengakui bahwa bibinya kadang-kadang memukul dan menendangnya. Pembicaraan dengan gurunya tersebut membuat Ana bersemangat untuk mengubah hidupnya. Ia kemudian minggat ke rumah temannya, Yolanda. Yolanda yang tinggal bersama ibunya mengijinkan Ana untuk tinggal sementara bersama mereka. 

Atas saran guru Ana, mereka mempertimbangkan untuk mengadopsi Ana. Ana berpikir bahwa tidak adil bagi Yolanda dan ibunya, jika tidak mengetahui keadaan sesungguhnya. Anapun memberitahu mereka bahwa ia terinfeksi HIV dan kedua orang tuanya juga meninggal karena AIDS. Namun demikian, selama ia meminum obatnya, ia akan baik-baik saja. Mereka tidak akan tertular virus itu jika Ana tinggal bersama mereka. Ibu Yolanda yang baik hati, bisa menerima hal itu. Namun ternyata pengadilan tidak mengijinkan Ana diadopsi oleh orang lain tanpa ijin keluarga sedarah. Akhirnya Ana dimasukan ke panti rehabilitasi remaja.

Disitu, Ana mendapat pelayanan psikolog, dimana awalnya Ana tidak mau membicarakan apapun tentang dirinya. Namun seiring waktu, Ana mulai membuka diri. Ia menceritakan semua rasa sakitnya akibat perlakukan kasar neneknya dan bibinya, pelecehan seksual dari Ernesto, tentang adiknya yang ditinggalkannya dirumah bibinya. Ana mulai belajar mengexpresikan rasa sakit yang dirasakannya dan juga belajar memaafkan. Ana mulai merasa lebih ringan dan bahagia. Ia mulai dapat menerima dirinya sendiri.

Di panti rehabilitasi, seperti remaja pada umumnya, Ana pun mulai berusaha menarik perhatian lawan jenis, hingga ia bertemu dengan Berto. Ana merasa ada chemistry diantara mereka, dan berterus terang pada Berto bahwa ia terinfeksi HIV. Ternyata Berto pun sama. Mereka sama-sama terifeksi HIV dan terbuang dari keluarganya. Kedua orang tua mereka sama-sama telah meninggal karena sakit.

Berto dan Ana kemudian dipindahkan ke panti khusus penderita HIV/AIDS. Ana merasa diterima ditempat itu. Disitu semua pengidap AIDS/HIV dapat dengan terbuka membicarakan kondisinya. Ada yang terinfeksi sejak lahir, ada yang terinfeksi dari suaminya yang menggunakan obat-obatan terlarang dengan jarum suntik. Ditempat itu Ana merasakan keterbukaan. Dia tidak lagi harus sembunyi-sembunyi mengkonsumsi obat yang dia minum setiap pagi dan sore hari.

Setiap dua minggu sekali mereka mengadakan pertemuan yang bertujuan mengedukasi para penderita AIDS tentang bagaimana supaya tetap sehat, pentingnya nutrisi yang baik dan saling mendukung diantara mereka. Mereka juga belajar bagaimana mencegah penyebaran infeksi HIV. Dan mereka juga jadi tahu bahwa obat-obatan untuk HIV/AIDS tidak semudah saat ini di jaman orang tua mereka. Obat-obatan itu terus ditingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu meskipun belum dapat menyembuhkan. Namun demikian,  obat-obatan itu dapat membuat mereka tetap sehat dalam waktu lama selama mereka mengkonsumsinya dengan teratur.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun