Mohon tunggu...
Veronika Gultom
Veronika Gultom Mohon Tunggu... Programmer/IT Consultant - https://vrgultom.wordpress.com

IT - Data Modeler; Financial Planner

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kota yang Berbeban Berat

29 Agustus 2019   01:48 Diperbarui: 29 Agustus 2019   13:44 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Padatnya Jakarta (kompas.com)

Ke Jakarta....aku kan kembali....iii...iii

Lagu Koes Plus yang sering kami nyanyikan dulu ketika ada teman yang memutuskan kembali ke Jakarta. Kembali ke Jakarta dalam arti kembali mengais rejeki di Jakarta, kota modern yang sebenarnya melelahkan karena kemacetannya. 

Namun tetap saja banyak orang memilih kembali ke Jakarta dan bukan kembali ke kampung halaman. Mengapa? Karena di Jakarta segala ada. Mau ke mall gampang, tengah malam lapar mau makan sudah pasti gampang. Ada tukang nasi goreng keliling, tukang sate keliling. Tempat makan modern yang buka 24 jam juga ada.

Perlu barang-barang dari luar negeri, gampang. Dan Jakarta boleh dibilang kota yang tidak ada istirahatnya. Mau malam atau pagi, siang atau sore, tetap saja ada kehidupan. Sehingga tidak terlalu menakutkan untuk pulang 'terlambat' di kota Jakarta ini.

Semua itu belum tentu ada di kota lain di Indonesia. Mengapa? Karena Jakarta adalah pusat bisnis. Tiap tahun ada saja diskusi-diskusi tentang bagaimana membendung penduduk dari luar Jakarta untuk datang ke Jakarta saat arus balik mudik lebaran.

Mengapa orang begitu tertarik untuk datang ke Jakarta? Karena konon katanya kalau di Jakarta cari uang gampang asal mau berusaha. Jakarta adalah pusat perdagangan dan pusat ekonomi. Termasuk juga daerah-daerah disekitarnya seperti Bandung, Bekasi, atau agak jauh sedikit: Surabaya, Jogjakarta...Pulau Jawa. 

Bandingkan dengan di kampung halaman orang tua saya, di Pulau Samosir sana. Tanah disana masih banyak tanah kosong warisan turun-temurun, tapi mau bangun usaha saja pikir-pikir dulu, karena penduduknya yang jarang. Bagaimana mau 'dagang' disana, kalau penduduknya saja sedikit :D Mau buka hotel diatas tanah yang luas itu, lakunya cuma kalau ada perhelatan di kampung :D 

Dulu saya pernah bertanya pada orang asing yang berniat membuka usaha di Indonesia,'Megapa kamu pilih Jakarta?'

Jawabannya adalah karena populasi penduduknya yang tinggi, dan itu bertumpuk di Pulau Jawa, dan terpadat di Jakarta. Rupanya populasi penduduk memang mempengaruhi keputusan dan kemajuan bisnis. 

Menurut tulisan berikut:Jakarta Akan Jadi Kota Paling Padat di Dunia pada 2030. Ledakan populasi di Jakarta akan menimbulkan tantangan baru, diantaranya kemacetan yang memang sudah terasa sejak lama. Memang ada perbaikan dengan adanya MRT yang sedikit mengurangi kemacetan.

Namun tetap saja, hidup di Jakarta, sering terasa tua di jalan. Untuk jarak dekat saja, bisa berjam-jam kalau sedang macet. Pakai busway memang lebih cepat, tapi busway juga padat dan berdesak-desakan.

Dengan kondisi seperti itu, lama-lama memang tidak efektif hidup di Jakarta. Apalagi Jakarta juga adalah pusat pemerintahan. Sempat terpikir oleh saya, bagaimana mau mempercepat pelayanan masyarakat dan tugas-tugas pemerintahan lain, jika menuju tempat kerja saja makan waktu lama karena macet.

Mungkin mereka harus berangkat pagi sekali agar tidak terlambat. Kasihan juga. Belum lagi jika ada demo yang tidak ada sangkut paut langsung dengan pemerintah pusat. Yang bermasalah perusahaan A, B, C tetapi demonya di Istana Negara, minta pemerintah pusat turun tangan :D

Bagaimana pula saat banjir atau ada bencana alam lain, apakah kegiatan pemerintahan juga harus ikut 'lumpuh'? Seharusnya tidak, maka dari itu pusat pemerintahan akan lebih baik berada ditempat yang tidak rawan bencana. Apalagi, menurut penelitian, permukaan tanah Jakarta didaerah pesisir berkurang 4 meter dalam 40 tahun terakhir. 

Hal ini tentunya harus segera diatasi jika tidak mau berdampak lebih buruk. Jadi pemindahan ibukota memang harus dilakukan, agar pemerintah pusat dapat lebih baik dalam 'mengurus' negara dan Jakarta juga dapat berbenah diri.  

Dan apakah pusat pemerintahan itu selalu berarti pusat ekonomi, pusat perdagangan, pusat bisnis? Saya rasa fungsi-fungsi itu harus dipisahkan.

Pemerintah pusat sebaiknya fokus pada "mengurusi negara" dan biarkan masing-masing pemerintah daerah mengurusi daerahnya agar menjadi pusat perekonomian, pusat bisnis, di daerah itu sendiri agar penduduknya tidak perlu mengadu nasib ke Ibu Kota dan merasakan kejamnya Ibu Kota yang konon katanya lebih kejam daripada ibu tiri :D

Mungkin posisi pusat pemerintahan juga cukup menentukan "keadilan" bagi seluruh wilayah Indonesia. Posisi Kalimantan yang bisa dibilang di tengah-tengah kepulauan Indonesia, akan mendekatkan semua wilayah, Indonesia Centris. Jadi orang-orang di daerah tidak lagi harus 'mendekat' ke pusat pemerintahan karena semua wilayah sudah dekat.

Semoga, dengan pertimbangan yang matang dalam memindahkan ibu kota atau pusat pemerintahan ke lokasi yang tepat, Indonesia bisa lebih maju dan pembangunan dapat lebih merata di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Dan semoga Jakarta yang sudah maju, dapat sedikit mengurangi bebannya dan mulai bebenah untuk lingkungan hidup yang lebih baik. Semoga langit Jakarta bisa lebih biru, berkurang macetnya, perkiraan ledakan penduduk di Jakarta di tahun 2030 tidak terjadi, dan sampah-sampahnya pun dapat dikurangi agar penduduknya lebih sehat. Dan tak ada lagi ungkapan, kejamnya ibu tiri tak sekejam ibu kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun