Dewasa ini, persepsi mengenai feminisme sudah dinodai oleh gagasan-gagasan yang negatif. Sering kali ketika orang awam mendengar kata “feminisme”, pikiran mereka akan langsung terarah pada sekelompok social justice warriors (SJW) Twitter yang hobi menyebarkan kebencian terhadap laki-laki. Feminisme kini diartikan sebagai sebuah gerakan anti laki-laki oleh sekelompok perempuan—yang tentunya merupakan prasangka yang salah kaprah.
Sebagai sebuah praktik di kehidupan sosial, feminisme bisa dibilang sudah ada sejak zaman Yunani kuno, dengan Sappho (570 SM) sebagai tokoh terkenalnya. Sappho menjadi penyair perempuan di dunia yang didominasi oleh penyair laki-laki pada saat itu, menyuarakan hal-hal yang umumnya diabaikan oleh penyair laki-laki.
Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa tokoh perempuan seperti Mary Wollstonecraft dan Simone de Beauvoir dikenal sebagai pelopor pemikiran feminisme berkat karya-karya mereka yang mengadvokasikan potensi dan martabat perempuan. Namun, feminisme sebagai serangkaian gerakan politik yang jelas dan dapat diidentifikasi baru muncul pada akhir abad ke-19.
Gerakan feminisme terbagi ke dalam 4 gelombang. Gelombang pertama dimulai pada akhir abad ke-19 sebagai respon dari tatanan sosial global baru berdasarkan sistem gender yang disebabkan oleh Revolusi Industri.
Fokus utama dari pergerakan era ini adalah kesempatan bagi perempuan untuk memungut suara (voting). Gelombang kedua dimulai tahun 1960 hingga 1990. Feminisme gelombang ini lebih radikal karena berkembang bersamaan dengan The New Left atau Gerakan Kiri Baru, sehingga fokus utamanya kini adalah hal-hal yang lebih “radikal”, seperti hak reproduksi dan pembebasan seksualitas.
Gelombang ketiga feminisme berkembang pada pertengahan tahun 1990. Feminis pada fase ini berusaha untuk mengeklaim kembali femininitas (lipstik, sepatu hak tinggi, warna merah muda, dan hal lain yang dianggap berkaitan dengan male gaze oleh dua gelombang pertama).
Era ini pada dasarnya menekankan bahwa femininitas yang dimiliki perempuan tidak semerta-merta membuat mereka lemah dan subordinat. Sedangkan gelombang keempat feminisme, kendati masih banyak diperdebatkan keberadaannya, adalah feminisme yang queer-positive, trans-inclusive, body-positive, dan dijalankan secara digital. Feminisme gelombang ini banyak tercermin dalam kegiatan berbasis media sosial di zaman sekarang.
Meski terpecah menjadi beberapa gelombang, tujuan utama feminisme hanyalah satu, yaitu pembebasan perempuan; pembebasan dari patriarki dan opresi dari laki-laki, serta pembebasan untuk mendapatkan kesetaraan dan kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan.
Perempuan berhak untuk menjadi bebas dalam menentukan pilihan hidupnya sendiri, alih-alih memilih atas dasar setiran masyarakat yang patriarkis. Feminisme memperjuangkan martabat perempuan sebagai sosok yang utuh, bukan subordinat, bawahan, maupun “gender kedua” setelah laki-laki.
Karena gerakan-gerakan yang mengatasnamakan feminisme secara inheren melawan patriarki, banyak orang yang kemudian menyamakan feminisme sebagai misandri (kebencian terhadap laki-laki). Feminisme menantang dan menentang norma gender yang dibentuk oleh patriarki, dan oleh sebab itulah orang-orang yang mendapat keuntungan dari patriarki akhirnya salah mengartikannya menjadi misandri.
Sejatinya, feminisme adalah kritik terhadap sistem yang menempatkan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi dari perempuan, bukan terhadap laki-laki itu sendiri. Kritik terhadap laki-laki simpelnya adalah “efek samping” dari kritik terhadap patriarki, karena patriarki dan tindakan laki-laki adalah hal yang saling berkaitan, sehingga sulit untuk tidak mengkritik laki-laki tertentu ketika kita mengkritik sistem sosial yang bersangkutan.