Mohon tunggu...
Syinchan Journal
Syinchan Journal Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Pemikir bebas yang punya kendali atas pikirannya

Begitu kau memahami kekuatan kata katamu, kamu tidak akan mengatakan apapun begitu saja. Begitu kau memahami kekuatan pikiranmu, kamu tidak akan memikirkan apapun begitu saja. Ketahuilah Nilaimu

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Masa Depan Ujian Nasional: Standar Pendidkan atau Beban Psikologis?

14 November 2024   03:15 Diperbarui: 14 November 2024   07:43 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
students-learning-school-their-classroom (freepik.com/freepik)

"Pendidikan seharusnya membantu siswa tumbuh dan berkembang, bukan sekadar mengukur hasilnya."
--- Margaret Mead 

Ujian Nasional (UN) telah menjadi topik hangat di Indonesia selama bertahun-tahun. Bagi sebagian orang, UN adalah standar yang diperlukan untuk mengukur pencapaian pendidikan secara nasional. Namun, bagi yang lain, ujian ini dianggap sebagai sumber tekanan yang menghambat proses belajar mengajar dan berdampak pada kesehatan mental siswa. 

Perspektif Siswa: Kebutuhan atau Beban?

Dari sisi siswa, UN seringkali dilihat dari dua sisi: sebagai alat pengukur kemampuan sekaligus sumber tekanan.

  • Mengukur Kemampuan Akademis

Bagi sebagian siswa, UN dianggap sebagai kesempatan untuk menunjukkan pencapaian akademis mereka setelah bertahun-tahun belajar. Dengan UN, mereka bisa mengetahui seberapa jauh pemahaman mereka terhadap materi yang diajarkan di sekolah. Dari survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, sekitar 60% siswa merasa bahwa UN memang membantu mereka menilai kemampuan akademis. Selain itu, UN juga berfungsi sebagai persiapan bagi siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

  • Beban Mental dan Emosional

Di balik manfaatnya, banyak siswa mengaku merasa terbebani secara mental dan emosional menjelang UN. Mereka merasakan tekanan dari ekspektasi orang tua, guru, dan masyarakat, yang seakan-akan menganggap nilai UN sebagai penentu masa depan mereka. Berdasarkan data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, lebih dari 70% siswa mengalami kecemasan berlebihan saat menghadapi UN. Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa nilai UN harus sempurna agar mereka memiliki peluang lebih baik dalam pendidikan atau karier.

Kecemasan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental tetapi juga bisa mengganggu fisik siswa. Beberapa siswa bahkan mengalami insomnia, gangguan pola makan, dan kelelahan yang disebabkan oleh tekanan yang terus meningkat. Sayangnya, kondisi ini membuat siswa kehilangan minat untuk belajar secara alami. Mereka hanya fokus pada materi UN dan mengabaikan minat atau rasa ingin tahu mereka dalam bidang lain.

Perspektif Guru: Tuntutan untuk Mengajar atau Tanggung Jawab Mendidik?

Guru juga dihadapkan pada dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum yang berorientasi UN atau menjalankan tugas mereka sebagai pendidik yang mendukung perkembangan holistik siswa.

  • Terjebak dalam Kurikulum Berbasis Ujian

Dalam sistem pendidikan yang berorientasi pada UN, banyak guru merasa terpaksa menyesuaikan metode pengajaran mereka agar siswa siap menghadapi UN. Sebagai contoh, sekitar 65% guru mengaku fokus pada materi yang diujikan di UN dan lebih jarang mengadakan pembelajaran yang bersifat kreatif atau aplikatif. Mereka merasa tertekan untuk mengajarkan materi yang mungkin tidak sesuai dengan minat siswa namun dianggap penting demi persiapan UN.

  • Keinginan untuk Mendidik Secara Holistik

Di sisi lain, banyak guru yang ingin memberikan pendidikan lebih holistik, yang tidak hanya menekankan pada aspek akademis tetapi juga pada pengembangan karakter dan keterampilan sosial siswa. Guru sering kali merasa kecewa ketika terpaksa membatasi diri hanya pada materi UN. Mereka memahami bahwa setiap siswa memiliki potensi yang berbeda, dan bahwa pendidikan seharusnya membantu mengembangkan berbagai aspek diri siswa, bukan hanya hasil ujian.

Namun, keinginan ini terkendala oleh tuntutan kurikulum dan target nilai. Menurut survei dari Federasi Guru Indonesia, sekitar 55% guru menyatakan mereka ingin lebih fokus pada pengembangan keterampilan hidup, seperti kemampuan berkolaborasi, berpikir kritis, dan kemampuan komunikasi, tetapi merasa terhambat oleh kebijakan yang mengharuskan mereka menekankan pada persiapan UN.

Perspektif Orang Tua: Harapan dan Kekhawatiran

Orang tua juga memiliki peran dan pandangan yang beragam terkait UN. Bagi banyak orang tua, UN adalah bagian penting dalam persiapan masa depan anak mereka, tetapi di sisi lain, mereka juga menyadari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

  • Harapan untuk Masa Depan Anak

Sebagian besar orang tua berharap bahwa nilai UN yang tinggi akan membuka peluang yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Dengan hasil UN yang baik, mereka bisa mendaftar ke sekolah atau perguruan tinggi favorit, yang dianggap penting untuk kesuksesan masa depan. Dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan, sekitar 80% orang tua menganggap bahwa UN memberikan kesempatan bagi anak-anak mereka untuk bersaing secara sehat dan meraih prestasi akademis yang diharapkan.

  • Kekhawatiran terhadap Tekanan yang Dialami Anak

Namun, di sisi lain, banyak orang tua yang menyadari bahwa tekanan dari UN dapat berdampak negatif pada kesehatan mental anak-anak mereka. Beberapa orang tua bahkan merasa bahwa UN mengalihkan fokus anak-anak mereka dari proses belajar yang seharusnya. Selain itu, stres yang dialami anak saat menghadapi UN kadang membuat mereka merasa khawatir dan cemas, yang akhirnya memengaruhi perkembangan emosional dan psikologis anak. Orang tua memiliki peran penting dalam mendukung anak mereka menghadapi UN dengan menciptakan lingkungan yang positif dan memberikan dukungan emosional.

Dampak Psikologis UN: Standar Pendidikan atau Beban Mental?

UN memang memiliki tujuan untuk menciptakan standar pendidikan yang setara di seluruh Indonesia, dan ini adalah bagian dari upaya menciptakan sistem pendidikan yang berkualitas. Berdasarkan data, standar ini juga membantu pemerintah mengidentifikasi wilayah-wilayah yang memerlukan peningkatan pendidikan. Namun, tekanan yang dihadapi siswa, guru, dan orang tua dalam menghadapi UN tidak bisa diabaikan.

Hasil riset menunjukkan bahwa siswa yang mengalami tekanan tinggi cenderung tidak mencapai hasil maksimal dalam ujian. Bahkan, sebagian besar siswa merasa bahwa tekanan dari UN mengganggu keseimbangan belajar mereka. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan apakah sistem pendidikan berorientasi UN masih relevan atau sudah waktunya untuk beralih ke model evaluasi yang lebih holistik.

Menuju Sistem Evaluasi yang Lebih Seimbang

Menghadapi kompleksitas permasalahan UN, ada beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan dalam menciptakan sistem evaluasi yang lebih seimbang dan mendukung kesejahteraan siswa, guru, dan orang tua.

1. Pendekatan Holistik dalam Penilaian: Evaluasi tidak hanya berfokus pada hasil akhir, tetapi juga pada proses belajar siswa. Pendekatan seperti portofolio, proyek, dan penilaian formatif bisa membantu siswa belajar tanpa tekanan berlebihan.

2. Peran Orang Tua dan Guru dalam Mendukung Siswa: Membangun komunikasi antara siswa, guru, dan orang tua bisa membantu mengurangi tekanan yang dirasakan oleh siswa. Dengan cara ini, siswa merasa didukung dalam proses belajarnya, bukan sekadar dinilai berdasarkan angka.

3. Fokus pada Pengembangan Karakter: Selain kemampuan akademis, penting bagi sekolah untuk memperhatikan pengembangan karakter siswa. Ini termasuk keterampilan sosial, komunikasi, dan rasa percaya diri, yang semuanya penting dalam kehidupan sehari-hari.

Kesimpulan: Mencari Keseimbangan

UN memang menjadi instrumen penting dalam menciptakan standar pendidikan nasional. Namun, sistem ini juga perlu diperbaiki agar lebih seimbang dalam memenuhi kebutuhan siswa tanpa menimbulkan beban yang berlebihan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, guru, siswa, dan orang tua, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang mendukung perkembangan siswa secara keseluruhan, bukan hanya pada nilai akademis. Di masa depan, semoga kita bisa membangun sistem evaluasi yang lebih manusiawi, di mana setiap siswa dapat belajar dan berkembang dengan nyaman.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun