Mohon tunggu...
Syinchan Journal
Syinchan Journal Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Pemikir bebas yang punya kendali atas pikirannya

Begitu kau memahami kekuatan kata katamu, kamu tidak akan mengatakan apapun begitu saja. Begitu kau memahami kekuatan pikiranmu, kamu tidak akan memikirkan apapun begitu saja. Ketahuilah Nilaimu

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fenomena Tagar "Desparate" di LinkedIn: Strategi Jujur atau Langkah Salah?

15 Oktober 2024   14:35 Diperbarui: 15 Oktober 2024   14:47 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 


LinkedIn, yang dikenal sebagai wadah profesionalisme, kini tengah diramaikan oleh fenomena baru, khususnya dari kalangan Gen Z. Para pencari kerja menggunakan tagar #Desperate untuk mengekspresikan kondisi mereka yang frustrasi dan putus asa dalam mendapatkan pekerjaan. Jika dulunya kita lebih familiar dengan tagar seperti #OpentoWork, kini #Desperate muncul sebagai bentuk teriakan digital akan realitas sulitnya mendapatkan pekerjaan di zaman sekarang.

Sebagai seseorang yang mengikuti perkembangan dunia kerja dan dinamika platform profesional, fenomena ini mengundang berbagai pertanyaan dan refleksi. Apakah sulitnya mendapatkan pekerjaan memang kian nyata? Mengapa begitu banyak pencari kerja, terutama generasi muda, merasa putus asa hingga merasa perlu menggunakan tagar yang begitu lugas seperti #Desperate? Dan yang lebih penting lagi, apakah strategi ini benar-benar efektif?

Mari kita telaah lebih jauh tentang tren ini dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin juga berkecamuk di benakmu.

Realita Sulitnya Mendapatkan Pekerjaan

Jawaban singkatnya: ya, sulitnya mendapatkan pekerjaan semakin nyata, dan ini adalah fenomena global. Pasca pandemi, dunia menghadapi ketidakstabilan ekonomi yang berdampak pada segala sektor, termasuk lapangan kerja. Banyak perusahaan yang mengurangi jumlah karyawan atau bahkan menghentikan proses perekrutan. Kompetisi di pasar kerja semakin ketat, di mana satu posisi pekerjaan bisa menarik ratusan bahkan ribuan pelamar.

Namun, sulitnya mencari pekerjaan bukan hanya soal angka dan ekonomi, tetapi juga perubahan ekspektasi. Perusahaan saat ini tidak hanya mencari individu dengan kemampuan teknis, tetapi juga menuntut keterampilan soft skills yang lebih kompleks, seperti kemampuan berpikir kritis, beradaptasi, serta bekerja dalam tim virtual. Dan inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak pencari kerja, terutama dari kalangan generasi muda, merasa terjebak dan kewalahan.

Apakah Tagar #Desperate Benar-benar Efektif?

Ini adalah pertanyaan yang rumit. Di satu sisi, tagar #Desperate bisa dilihat sebagai bentuk keterusterangan yang mengundang empati. Gen Z, yang dikenal dengan keterbukaan mereka, mungkin merasa bahwa menjadi jujur tentang perasaan frustrasi adalah cara untuk menarik perhatian dengan cara yang otentik. Dan bagi beberapa perekrut, keterbukaan semacam ini bisa menarik karena mencerminkan seseorang yang tidak takut menunjukkan sisi manusiawinya.

Namun, di sisi lain, tagar ini bisa memberi kesan negatif. Penggunaan kata "desperate"---putus asa---mungkin dianggap sebagai sinyal bahwa si pencari kerja kurang percaya diri atau terlalu frustasi. Perekrut bisa saja menafsirkan ini sebagai tanda bahwa si pelamar tidak memiliki nilai diri yang kuat, atau lebih parah lagi, tidak bisa mengatasi tantangan dengan baik.

Apakah saya setuju bahwa memasang tagar ini bisa membuatmu dilirik oleh perusahaan? Mungkin ya, tapi lebih banyak "mungkin tidak". Tagar ini mungkin bisa menarik perhatian dalam jangka pendek, tapi kesan jangka panjangnya bisa beragam dan tidak selalu positif. Selain itu, banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan peluangmu dilihat tanpa harus mengorbankan persepsi profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun