Â
LinkedIn, yang dikenal sebagai wadah profesionalisme, kini tengah diramaikan oleh fenomena baru, khususnya dari kalangan Gen Z. Para pencari kerja menggunakan tagar #Desperate untuk mengekspresikan kondisi mereka yang frustrasi dan putus asa dalam mendapatkan pekerjaan. Jika dulunya kita lebih familiar dengan tagar seperti #OpentoWork, kini #Desperate muncul sebagai bentuk teriakan digital akan realitas sulitnya mendapatkan pekerjaan di zaman sekarang.
Sebagai seseorang yang mengikuti perkembangan dunia kerja dan dinamika platform profesional, fenomena ini mengundang berbagai pertanyaan dan refleksi. Apakah sulitnya mendapatkan pekerjaan memang kian nyata? Mengapa begitu banyak pencari kerja, terutama generasi muda, merasa putus asa hingga merasa perlu menggunakan tagar yang begitu lugas seperti #Desperate? Dan yang lebih penting lagi, apakah strategi ini benar-benar efektif?
Mari kita telaah lebih jauh tentang tren ini dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin juga berkecamuk di benakmu.
Realita Sulitnya Mendapatkan Pekerjaan
Jawaban singkatnya: ya, sulitnya mendapatkan pekerjaan semakin nyata, dan ini adalah fenomena global. Pasca pandemi, dunia menghadapi ketidakstabilan ekonomi yang berdampak pada segala sektor, termasuk lapangan kerja. Banyak perusahaan yang mengurangi jumlah karyawan atau bahkan menghentikan proses perekrutan. Kompetisi di pasar kerja semakin ketat, di mana satu posisi pekerjaan bisa menarik ratusan bahkan ribuan pelamar.
Namun, sulitnya mencari pekerjaan bukan hanya soal angka dan ekonomi, tetapi juga perubahan ekspektasi. Perusahaan saat ini tidak hanya mencari individu dengan kemampuan teknis, tetapi juga menuntut keterampilan soft skills yang lebih kompleks, seperti kemampuan berpikir kritis, beradaptasi, serta bekerja dalam tim virtual. Dan inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak pencari kerja, terutama dari kalangan generasi muda, merasa terjebak dan kewalahan.
Apakah Tagar #Desperate Benar-benar Efektif?
Ini adalah pertanyaan yang rumit. Di satu sisi, tagar #Desperate bisa dilihat sebagai bentuk keterusterangan yang mengundang empati. Gen Z, yang dikenal dengan keterbukaan mereka, mungkin merasa bahwa menjadi jujur tentang perasaan frustrasi adalah cara untuk menarik perhatian dengan cara yang otentik. Dan bagi beberapa perekrut, keterbukaan semacam ini bisa menarik karena mencerminkan seseorang yang tidak takut menunjukkan sisi manusiawinya.
Namun, di sisi lain, tagar ini bisa memberi kesan negatif. Penggunaan kata "desperate"---putus asa---mungkin dianggap sebagai sinyal bahwa si pencari kerja kurang percaya diri atau terlalu frustasi. Perekrut bisa saja menafsirkan ini sebagai tanda bahwa si pelamar tidak memiliki nilai diri yang kuat, atau lebih parah lagi, tidak bisa mengatasi tantangan dengan baik.
Apakah saya setuju bahwa memasang tagar ini bisa membuatmu dilirik oleh perusahaan? Mungkin ya, tapi lebih banyak "mungkin tidak". Tagar ini mungkin bisa menarik perhatian dalam jangka pendek, tapi kesan jangka panjangnya bisa beragam dan tidak selalu positif. Selain itu, banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan peluangmu dilihat tanpa harus mengorbankan persepsi profesional.
Alternatif Solusi: Menggunakan Narasi yang Kuat
Jika kamu merasa menggunakan tagar #Desperate bukanlah strategi yang tepat, ada banyak cara lain untuk menarik perhatian perekrut di LinkedIn. Salah satu cara terbaik adalah dengan menyusun narasi personal yang kuat tentang siapa dirimu dan apa yang kamu tawarkan. Daripada hanya memasang banner, cobalah untuk memanfaatkan fitur-fitur lain di LinkedIn, seperti menulis artikel tentang pengalaman kerjamu, atau memposting tentang tantangan yang telah kamu atasi dalam kehidupan profesional.
Cara lain yang lebih halus adalah dengan terlibat aktif dalam diskusi di LinkedIn, baik melalui komentar maupun grup industri yang relevan. Ini bisa menunjukkan keahlianmu secara tidak langsung, sekaligus membangun jaringan profesional yang lebih luas. Jangan lupa untuk memperbarui profilmu secara berkala dan pastikan bahwa keterampilan yang relevan tercantum dengan jelas.
Bagaimana Menyikapi Kondisi Ini?
Tidak bisa dipungkiri, kondisi dunia kerja saat ini memang penuh dengan ketidakpastian. Namun, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan sembari menunggu kesempatan kerja yang lebih baik datang. Pertama, tingkatkan keterampilan yang relevan dengan pekerjaan yang kamu incar. Banyak platform pembelajaran daring yang menawarkan kursus gratis atau berbayar, yang bisa menjadi nilai tambah di mata perekrut.
Kedua, perbanyak pengalaman melalui magang, pekerjaan freelance, atau proyek-proyek sukarela. Meskipun ini mungkin bukan pekerjaan penuh waktu yang kamu harapkan, pengalaman ini bisa memperkaya portofoliomu dan menunjukkan bahwa kamu adalah orang yang proaktif dan terus belajar, bahkan di tengah situasi sulit.
Apa yang Dicari Perusahaan dari Calon Pekerja?
Pertanyaan ini penting untuk direnungkan, karena pemahaman tentang apa yang diinginkan perusahaan bisa membantumu dalam merencanakan langkah ke depan. Secara umum, perusahaan tidak hanya mencari keterampilan teknis, tetapi juga soft skills yang mencerminkan kemampuanmu dalam menghadapi perubahan dan tantangan.
Beberapa keterampilan yang semakin dicari adalah:
1. Kemampuan Beradaptasi: Dunia kerja terus berubah, dan perusahaan mencari orang yang bisa fleksibel dalam menghadapi perubahan ini.
2. Berpikir Kritis dan Problem-Solving: Tidak hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga mampu memprediksi tantangan di masa depan dan menawarkan solusi kreatif.
3. Kemampuan Berkomunikasi: Terutama dalam era kerja jarak jauh, kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif melalui berbagai platform digital sangat dihargai.
4. Kemampuan Kolaborasi: Mampu bekerja dengan baik dalam tim, baik secara langsung maupun virtual, merupakan nilai tambah besar.
Pengalaman Pribadi Saya
Sebagai seseorang yang sering berinteraksi dengan informasi dari pencari kerja di seluruh dunia, saya melihat banyak pola dan tren menarik. Berdasarkan data yang saya pelajari, sulitnya mendapatkan pekerjaan bukan selalu karena kurangnya kemampuan, tetapi sering kali karena kurangnya strategi yang tepat atau ketidaksesuaian antara keterampilan dan kebutuhan perusahaan.
Misalnya, ada banyak orang yang telah menginvestasikan waktu untuk belajar berbagai keterampilan, tetapi mereka tidak tahu bagaimana memposisikan diri dengan baik di pasar kerja. Di sinilah pentingnya kombinasi antara keterampilan teknis dan soft skills, serta kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dinamika industri yang terus berubah.
Melihat dari sudut pandang ini, penting sekali untuk membangun narasi personal yang kuat, menunjukkan adaptabilitas, dan tidak berhenti mencari cara untuk menambah nilai diri di mata perekrut. Apa yang saya pelajari adalah bahwa mereka yang bisa berpikir kreatif, berani menonjolkan diri secara positif, dan terus belajar, cenderung lebih sukses dalam jangka panjang.
Strategi atau Keputusasaan?
Fenomena tagar #Desperate ini bisa dilihat dari dua sisi: sebagai refleksi dari realitas yang keras, atau sebagai strategi unik untuk menonjol. Bagaimanapun, penting untuk tidak bergantung pada satu strategi saja. Pemasangan tagar ini mungkin bisa mendapatkan perhatian sesaat, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kamu membangun narasi yang konsisten, memperkuat keterampilan, dan terus terlibat aktif dalam membangun jaringan profesional.
Dunia kerja mungkin terasa semakin sulit, tetapi dengan pendekatan yang tepat, kamu masih memiliki peluang besar untuk sukses. Tetap optimis, terus belajar, dan selalu siap menghadapi tantangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H