Mohon tunggu...
Vornalita Pelsa Sambalao
Vornalita Pelsa Sambalao Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan - Program Pascasarjana Undiksha

Saya adalah seorang yang peduli dengan pendidikan anak. Pendidikan yang saya jalani harus dapat membantu saya dalam berkontribusi di dunia pendidikan. Hobi berenang, nonton serta travelling membuat saya memiliki banyak cerita yang bisa dibagikan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Raja dan Ratu Sehari, Sisanya Menjadi Buruh Pembayar Cicilan

26 November 2024   19:25 Diperbarui: 26 November 2024   19:27 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi Raja dan Ratu Sehari, Sisanya Menjadi Buruh Pembayar Cicilan

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal dengan keindahan alamnya yang memukau, keberagaman budaya yang kaya, serta tradisi yang masih kuat dipertahankan hingga kini. Salah satu tradisi yang sangat melekat dalam masyarakat NTT adalah belis. Belis merupakan suatu bentuk mahar atau pengantin pria yang diberikan kepada keluarga pengantin wanita sebagai tanda penghormatan dan untuk memperlihatkan keseriusan dalam pernikahan. Meskipun pada awalnya belis dilihat sebagai bentuk penghargaan, kini ada banyak dinamika dalam penerapannya yang menyebabkan fenomena sosial dan ekonomi yang menarik untuk dianalisis.

Budaya belis seringkali dianggap sebagai salah satu elemen dari sistem patriarkal, yang mempengaruhi status sosial serta peran gender dalam masyarakat. Meskipun belis memberikan penghargaan yang besar terhadap pengantin wanita pada hari pernikahan, tradisi ini juga menyisakan konsekuensi ekonomi yang dapat mempengaruhi kehidupan pasangan pengantin, terutama sang pria. Menjadi "raja dan ratu sehari" dalam pesta pernikahan tidak selalu diikuti dengan kehidupan yang setara setelahnya. Banyak pria yang merasa terbebani dengan cicilan belis yang mereka harus bayar, dan ini sering kali menyebabkan mereka bekerja keras, bahkan terjebak dalam status ekonomi yang lebih rendah sebagai buruh pembayar cicilan. Artikel ini akan membahas bagaimana budaya belis di NTT dapat menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi, serta mengubah cara pandang kita tentang pernikahan dalam konteks budaya tradisional ini.

1. Apa Itu Budaya Belis?

Belis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan mahar atau pembayaran yang diberikan oleh pria kepada keluarga pengantin wanita sebagai bagian dari prosesi pernikahan. Tradisi ini sudah ada sejak lama di NTT dan merupakan bagian integral dari banyak suku di daerah ini, seperti suku Timor, Sabu, Alor, dan Flores. Meskipun nilai belis dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, prinsip dasar dari tradisi ini adalah penghormatan dan pengakuan terhadap wanita dan keluarganya.

Pada umumnya, belis terdiri dari uang tunai, barang berharga, atau hewan ternak seperti sapi, kambing, atau kerbau. Pada beberapa daerah, jumlah belis yang diberikan bisa sangat besar, dan hal ini menjadi simbol status sosial keluarga pengantin pria. Oleh karena itu, dalam budaya ini, pembayaran belis tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi ajang untuk menunjukkan keberhasilan ekonomi dan sosial pria yang melamar.

2. Menjadi Raja dan Ratu Sehari

Hari pernikahan sering kali menjadi hari yang sangat dinanti-nantikan dalam tradisi belis. Pada hari ini, pasangan pengantin, terutama pengantin wanita, diperlakukan seperti raja dan ratu. Mereka mengenakan pakaian adat yang indah, disambut dengan upacara penuh khidmat, dan menjadi pusat perhatian di hadapan keluarga serta masyarakat. Momen ini merupakan titik puncak dari sebuah perjalanan panjang yang diawali dengan proses negosiasi belis antara keluarga kedua mempelai.

Pada hari pernikahan, wanita dalam budaya belis sering dipandang sebagai "pusat dunia." Dia mendapat penghargaan dan perhatian besar dari keluarga pria, yang memberikan berbagai bentuk hadiah. Pengantin wanita merasa dihormati, dan pernikahan ini sering dianggap sebagai pencapaian besar dalam hidupnya. Selain itu, belis yang diterima oleh keluarga wanita dianggap sebagai bentuk penghargaan atas peran mereka dalam mendidik anak perempuan yang akan memasuki kehidupan baru bersama suami.

Namun, kenyataannya, meskipun pengantin wanita mendapatkan perhatian besar pada hari pernikahan, tradisi belis tidak selalu membawa keuntungan jangka panjang bagi kedua belah pihak. Salah satu sisi yang kurang mendapat sorotan adalah beban ekonomi yang ditanggung oleh pria, yang pada kenyataannya bisa menyebabkan perubahan besar dalam kehidupan mereka setelah upacara pernikahan.

3. Beban Ekonomi dan Cicilan Belis: Menjadi Buruh Pembayar Cicilan

Setelah hari pernikahan yang penuh kemegahan, kenyataan kehidupan pernikahan dapat berbeda jauh. Meskipun pasangan pengantin dapat merasakan kemewahan dan penghormatan pada hari pernikahan, beban ekonomi yang ditanggung pria sebagai "pembayar cicilan belis" sering kali membayangi kehidupan mereka.

Pernikahan dalam tradisi belis bisa menjadi sangat mahal, terutama jika keluarga wanita menetapkan jumlah belis yang tinggi. Banyak pria yang, setelah menikah, terjebak dalam kewajiban membayar cicilan belis selama bertahun-tahun. Pembayaran ini sering kali harus dipenuhi dengan bekerja keras sebagai buruh, baik di sektor pertanian, konstruksi, atau pekerjaan informal lainnya. Dalam banyak kasus, pria yang telah menikah dengan membayar belis merasa seperti "buruh" yang terperangkap dalam lingkaran utang.

Hal ini berlanjut selama bertahun-tahun, karena sebagian besar pria harus mengumpulkan uang atau barang secara bertahap untuk memenuhi kewajiban mereka. Terkadang, ini membuat mereka merasa tertekan secara ekonomi dan sosial. Bahkan dalam beberapa kasus, keluarga pria harus menggadaikan tanah atau sumber daya lainnya untuk membayar belis, yang bisa menyebabkan penurunan kualitas hidup mereka setelah pernikahan.

4. Ketimpangan Sosial yang Diciptakan oleh Belis

Selain beban ekonomi yang dirasakan oleh pria, budaya belis juga menciptakan ketimpangan sosial antara pria dan wanita, serta antara keluarga yang kaya dan miskin. Keluarga yang mampu memberikan belis tinggi bisa dianggap lebih terhormat dan dihormati dalam masyarakat, sementara keluarga yang tidak mampu bisa merasa terpinggirkan atau dipandang rendah. Fenomena ini menambah tekanan sosial pada pria, terutama jika mereka datang dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang lebih rendah.

Di sisi lain, meskipun wanita dihargai pada hari pernikahan, sering kali mereka tidak memiliki kontrol penuh atas keputusan ekonomi dalam kehidupan setelah pernikahan. Meskipun pernikahan melalui tradisi belis memberikan penghormatan kepada keluarga wanita, hal itu tidak selalu berlanjut ke dalam kehidupan sehari-hari. Banyak wanita, setelah menikah, masih harus bekerja keras untuk membantu suami mereka membayar cicilan belis, yang pada akhirnya berujung pada ketergantungan ekonomi dalam keluarga.

5. Proses Negosiasi dan Dinamika Sosial dalam Budaya Belis

Proses negosiasi belis dalam pernikahan juga melibatkan dinamika sosial yang sangat kompleks. Dalam beberapa kasus, negosiasi belis bisa menjadi ajang tawar-menawar antara keluarga pria dan wanita. Keluarga wanita bisa saja menetapkan jumlah belis yang sangat tinggi untuk menunjukkan prestise atau status sosial mereka. Sementara itu, keluarga pria yang lebih miskin harus berjuang keras untuk memenuhi tuntutan tersebut, yang bisa berujung pada ketegangan dan konflik dalam proses pernikahan.

Namun, meskipun terdapat dinamika yang tidak selalu adil dalam negosiasi belis, ada juga perubahan dalam cara pandang tentang budaya ini. Di beberapa daerah di NTT, mulai ada kesadaran untuk mengurangi ketimpangan sosial yang tercipta akibat tradisi belis. Beberapa keluarga mulai berinovasi dengan mengurangi jumlah belis atau mengubah cara pemberian belis agar tidak membebani kedua belah pihak.

6. Menyikapi Budaya Belis di NTT: Antara Tradisi dan Realitas Sosial

Budaya belis di NTT jelas merupakan bagian dari warisan budaya yang perlu dihargai dan dipertahankan, namun perlu ada kesadaran tentang tantangan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dari praktik tersebut. Pada satu sisi, belis dapat dianggap sebagai simbol penghormatan dan keseriusan dalam pernikahan. Namun di sisi lain, praktik ini bisa menjadi beban yang sangat berat bagi pasangan pengantin, terutama bagi pria yang harus bekerja keras untuk memenuhi kewajiban finansial tersebut.

Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa budaya belis tidak menjadi sumber ketimpangan sosial dan ekonomi, perlu ada pembaruan atau penyesuaian dalam cara praktik ini diterapkan. Penyuluhan dan pemahaman tentang pentingnya kesejahteraan pasangan dalam pernikahan harus diperkenalkan, serta pentingnya keseimbangan dalam memberikan penghargaan melalui belis.

Budaya belis di NTT adalah tradisi yang penuh makna dan penghormatan, namun di balik kemegahan pernikahan tersebut, ada tantangan sosial dan ekonomi yang perlu diperhatikan. Menjadi "raja dan ratu sehari" dalam pernikahan tidak selalu diikuti dengan kehidupan yang setara setelahnya. Banyak pria yang merasa terbebani dengan cicilan belis yang mereka harus bayar, yang mengarah pada status ekonomi yang lebih rendah dan tekanan sosial yang besar.

Penting untuk menyadari bahwa meskipun tradisi belis merupakan warisan budaya yang patut dihormati, perlu adanya reformasi agar tidak menciptakan ketimpangan sosial dan beban yang berlebihan bagi keluarga pengantin pria. Sebagai masyarakat yang terus berkembang, kita harus menemukan cara untuk menghargai tradisi tanpa mengorbankan kesejahteraan individu dalam proses tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun