Keretakkan dalam rumah tangganya sudah berlangsung sejak lama. Hingga suatu hari, ia memutuskan melayangkan surat gugatan perceraian kepada suaminya. Mereka resmi berpisah.
Muryati menjadi orang tua tunggal untuk ketiga anaknya. Perekonomian yang dibantu oleh sang ibu dari uang hasil berjualan sembako di warung kecilnya ternyata dapat membantu menghidupi anak-anaknya hingga tubuh besar.
Suatu hari, Muryati berkunjung ke keluarga suaminya yang selama ini tak pernah diizinkan berkunjung sebab Widodolah yang melarangnya bertandang. Di rumah mertuanya, Muryati disambut dengan baik, anak-anaknya hasil pernikahannya dengan Widodo disambut riang oleh mertuanya.Â
Sang mertua yang menjelaskan jika hubungannya dengan anak sulung mereka tidak berlangsung baik karena sikap Widodo sejak remaja yang sudah menunjukkan perilaku memberontak hingga pada akhirnya ia mempunyai sosok panutan yang tidak lain adalah pamannya.Â
Widodo yang "manut" kepada sang paman sehingga pihak keluarga tidak terkejut atas kabar tergabungnya ia dalam pemberontakan kelompok golong kiri di Madiun. Mertuanya mengatakan sejak Widodo dekat dan tinggal bersama dengan pamannya, sejak saat itu mereka seolah terputus hubungan dengan anak sulungnya.Â
Muryati memahami bahwa selama ini sikap-sikap suaminya yang selalunya teguh pendirian, tidak mau diatur, dan egois merupakan sifat dasarnya. Jika jiwa "pemberontak" telah mengalir di dalam darahnya sejak kecil.Â
Muryati kembali menata hidupnya. Ia kembali menjadi guru, melanjutkan cita-cita dan kesukannya dalam hal mengajar. Â Suatu hari ia mendapat beasiswa ke Belanda, di sana ia bertemu dengan seorang pemuda setanah air. Dia seorang arsitek yang usianya terpaut cukup jauh di bawahnya, ia bernama Handoko yang merupakan adik bungsu Widodo. Singkat cerita, Muryati menikah dengan Handoko.
Uniknya, sapaan "Mbak Mur" tak ubahnya bagi Handoko untuk memanggil istrinya alias mantan iparnya itu dan "Mas Han" menjadi ciri khas Muryati menyapa sang suami dengan rasa hormat. "Mas" di sini bukan berarti "Kang Mas", tetapi kependekan "Dimas" yang dalam bahasa Jawa berarti adik dikarenakan hubungan mereka tetap memperhatikan "kepernahan" yakni menjaga rasa saling hormat terpaut usia sekaligus pernah menjadi seorang adik dan kakak ipar.
Berbeda saat bersama Widodo dulu dimana tugas-tuganya sebagai istri hanya memenuhi sebuah keharusan sebagai bakti istri kepada suaminya. Namun dengan Handoko, Muryati melakukan semua hal atas dasar cinta. Bersama pria itu dia merasa dicintai, merasa jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, dia siap berbakti dengan sepenuh hati, dan turut pergi kemana pun sang suami membawanya pergi.Â
Tak ada satu kali pun Muryati menunjukkan sikap ketidakcintaan kepada Handoko sebab di dalam hatinya hanya ada nama Handoko, bahkan nama Widodo tidak pernah terbesit sama sekali di benaknya.
Suatu masa, Widodo terbebas dari masa kurungan. Ia kembali mendekati Muryati dan berharap dapat rujuk dengan mantan istrinya itu. Widodo mengetahui jika saat ini Muryati telah diperistri oleh adik bungsunya.Â