Hubungan mereka mengalami kerenggangan. Widodo jarang datang berkunjung di akhir pekan sehingga menimbulkan tanya pada diri Muryati, "Adakah yang salah pada sikap dirinya?".Â
Suatu hari Widodo mengirimkan sebuah surat yang menyampaikan ketidaksukaannya akan sikap orang tua Muryati yang suka memerintahnya melakukan sesuatu hal; atau saat membujuknya pergi menonton, sedangkan hal itu bukanlah kesukaannya. Widodo mengakui jika itu merupakan pemaksaan kehendak.
Muryati merasa kurang suka dengan sikap Widodo yang ternyata "egois" dan kurang menghargai orang tuanya. Muryati tidak menyangka jika persoalan mengajaknya menonton di akhir pekan menjadi masalah untuknya.Â
Padahal dalam hal ini, ia sependapat dengan sang ayah jika pergi menonton bersama pasangan adalah hal yang lumrah dan sebagai hiburan kala dirinya penat setelah sepekan berkutat dengan buku pelajaran sekolah.Â
Muryati melaporkan isi surat itu kepada kedua orang tuanya, lalu orang tua Muryati mengambil tindakan tegas bertanya akan keseriusan Widodo, apakah akan berlanjut atau disudahi jika dia merasa tidak cocok selagi pernikahan belum terlaksana. Widodo menyatakan untuk terus melanjutkan dan tidak sekali pun ingin menyudahi hubungannya dengan "Dek Muryati", begitu sapaan akrab pria itu kepada Muryati.
Semenjak ayah Muryati meninggal, kehidupan keluarga Muryati berubah. Kebutuhan yang semula terpenuhi, kini harus prihatin. Kebutuhan rumah dan sekolah disokong dengan uang pensiun ayahnya yang tak seberapa, ibunya lantas membuka warung sembako kecil-kecilan untuk menyambung penghidupan keluarga.Â
Meskipun di kalangannya berjualan dianggap sebagai pekerjaan yang memalukan dan rendahan, tetapi ibu Muryati mengesampingkan ocehan tetangga dan tetap berjualan untuk menghidupi beberapa anaknya yang masih butuh biaya sekolah dan makan sehari-hari.
Muryati menikah dengan Widodo. Ketidakcocokan semakin ditemukan setelah kehidupan pernikahan dijalani. Widodo yang semakin bertindak semaunya sendiri. Muryati yang dibatasi dalam hal pergaulan dengan rekan dan tetangga, ia yang diminta mundur dari profesinya sebagai guru.Â
Pun wanita itu memenuhi permintaan-permintaan sang suami meski ia pikir itu bukan kemauannya dan hal-hal keterpaksaan sering Muryati lakukan demi bentuk kepatuhannya pada sosok yang disebut suami.
Suatu hari, Muryati curiga dengan pekerjaan suami yang seringnya pulang malam dan penghasilan yang tidak tetap, bahkan kekurangan. Pada akhirnya sebuah kabar berita mengejutkan sampai di telinganya kala polisi berhasil meringkus suaminya yang diduga sebagai orang-orang yang termasuk golongan kiri alias komunis. Suaminya ditahan di Nusakambangan. Beberapa tahun terpisah, Muryati semakin jarang mengunjungi sang suami di penjara.Â
Jikalau dia mengujungi, itu ia anggap sebagai sebuah kewajiban akan status istri yang masih disandangnya, ia masih memikirkan omongan orang-orang akan keharusan seorang istri berbakti pada suami meskipun ia merasa tidak ada lagi kewajiban yang harus dipenuhi karena sebagai suami, Widodo tidak lagi menafkahi baik fisik ataupun batin.Â