Alur Novel "Keberangkatan" 1977 NH. Dini
Cerita bermula saat tokoh Elisa yang mengantarkan keluarganya di sebuah bandara untuk keberangkatannya ke Belanda. Elisabeth Frissart atau yang lebih dikenal dengan nama Belanda Elsye atau Elisa (dalam sapaan Indonesia), dia merupakan seorang hasil peranakan bangsa Belanda dan campuran pribumi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia.Â
Latar novel terjadi pada era awal kemerdekaan RI sekitar tahun 1947 an. Elsye lebih suka disapa dengan nama Elisa karena lebih terdengar seperti warga pribumi karena ia lebih cinta tanah kelahirannya ini. Dia lebih suka dianggap anak pribumi daripada anak hasil peranakan yang saat itu disebut dengan "anak indo". Istilah tersebut merujuk pada seseorang keturunan campuran.Â
Elisa mempunyai ayah ibu juga seorang kakak dan dua adik. Kakak Elisa yang sudah menikah dan tinggal terpisah jauh di Surabaya mengikuti suaminya. Hubungan dia dan kakak perempuannya yang tidak dekat disebabkan percekcokan kali terakhir dengan ibunya yang menyebabkan sang kakak tidak pernah lagi berkunjung ke rumah. Adik Elisa bernama Teo dan Silvi.Â
Di sini tergambar hubungan kedekatan antara Elisa dengan Silvi adik bungsunya yang membujuknya untuk turut serta berangkat ke Belanda. Elisa tidak pernah menjawab "iya" atas ajakan adiknya itu. Ia pun tidak pernah menjanjikan jika ia akan menyusul ke Belanda di keberangkatan selanjutnya atau pada suatu saat nanti karena hati Elisa masih ingin tetap tinggal di negeri bekas jajahan bangsanya itu dalam waktu yang lama atau selamanya.Â
Sedangkan, hubungannya dengan anggota keluarga yang lain biasa saja. Namun dengan ibunya, Elisa digambarkan tidak terlalu dekat dan kurang cocok dengan sang ibu karena sering merecoki kehidupannya, termasuk membiayai semua kebutuhan hidup anggota keluarganya dari hasil gaji kerjanya hingga Elisa merasa sungkan tinggal seatap dengan ibunya.Â
Percekcokan kecil yang sering kali terjadi membuat Elisa memutuskan untuk keluar dan memilih menyewa rumah dengan teman-teman kerjanya sebagai tempat tinggal.
Elisa seorang pramugari di Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia Airways (GIA). Dirinya mempunyai beberapa teman dekat, salah satunya Lansih yang tinggal bersama di rumah sewaan yang dibayar patungan di Jalan Rajawali. Suatu ketika ia bertemu dengan sepupu Lansih, seorang pria keturunan asli Jawa asal Solo yang bekerja di istana kepresidenan bernama Sukoharjito.Â
Sapaan akrabnya "Mas Jito". Dengan Jito, Elisa seolah merasakan jatuh cinta untuk pertama kali dengan pria itu. Dia berharap dapat hidup bersama dengan pria itu dalam ikatan yang paling serius; pernikahan.
Elisa digambarkan sebagai perempuan "Indo" yang mempunyai pendirian berbeda dengan perempuan Indo lainnya yang dikenal mempunyai kebebasan "sebebas-sebebasnya" dalam hal pergaulan antara laki-laki dan perempuan.Â
Namun, Elisa teguh dalam prinsipnya dimana ia menempatkan harga dirinya sebagai sesuatu yang dia junjung tinggi di atas apapun sehingga itu ia tak memberikan "makhkotanya" kepada lelaki mana pun selagi belum dimiliki oleh seorangnya melalui pernikahan yang sah.
Kedekatakan dengan Jito sudah terlampau dekat, bahkan dia telah dibawa ke keluarga Solo untuk dikenalkan sebagai kekasih oleh pria asal Solo itu. Harapan akan menjadi seorang istri dari Jito semakin maju, tetapi ia merasa semakin jauh dan semu hubungannya dengan laki-laki itu.Â
Seringnya dia membatalkan janji yang telah dibuat di waktu libur Elisa. Itu menjadi satu kekesalannya karena pria itu dapat dengan mudah membatalkan janji-janji yang telah dibuatnya untuk pertemuan yang dinantikan setiap waktu libur dinasnya di penerbangan.
Pada akhirnya, Elisa kecewa pada kekasihnya yang ternyata dikabarkan akan menikah dengan gadis lain anak seorang pengawal presiden. Elisa merasa dikhianati, kecurigaannya selama ini benar atas pembatalan-pembatalan janji yang beralasan mendapat tugas dari kepala bagiannya, ternyata yang dia lakukan untuk mengencani wanita lain hingga membuatnya hamil dan harus segera menikahi perempuan itu.Â
Elisa patah hati ditinggalkan kekasihnya, kecintaannya pada lelaki Jawa yang dia dambakan dan bermimpi akan menjadi teman hidupnya, serta menjadi satu alasan baginya untuk menjadi warga negara Indonesia seutuhnya seakan dipatahkan begitu saja.
Semenjak hari itu, Elisa seolah hilang percaya pada lelaki. Elisa sangsi pada hubungan kasih dengan lelaki mana pun lagi. Ia memutuskan untuk meninggalkan tanah air dan berangkat ke Belanda karena kecintaannya kepada seorang lelaki Jawa sudah tidak dapat diharapkan lagi.Â
Elisa meninggalkan semua kenangan dan harapannya di tanah Indonesia dan tak berharap apapun lagi soal pria mana atau siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya.Â
Novel ini mempunyai pesan mendalam akan hak-hak sebagai wanita dalam kehidupan bermasyarakat. Betapa wanita seharusnya mempunyai kewenangan dalam menentukan nasib dirinya.Â
Wanita tidak harus selalu menjadi nomor dua di dalam kehidupan masyarakat yang aturannya diciptakan oleh masyarakat itu sendiri seolah wanita selalu berada di pihak yang harus mengalah dan menunggu, menunggu dikencani, menunggu dilamar, menunggu dipinang, menunggu dinikahi. Perempuan-perempuan pada masa itu tidak memiliki kesempatan yang sama sebagaimana kesempatan-kesempatan yang dimiliki oleh para laki-laki.Â
Tokoh Elisa digambarkan sebagai wanita yang mampu menentukan batas-batas dan kendali atas dirinya, dia yang mempunyai prinsip hidup yang kuat dan berani berbeda seperti apa yang dituduhkan kepada sesama kalangannya, terutama sebagai orang yang berstatus sebagai seorang hasil peranakan berdarah Belanda dengan pribumi yang terkenal dengan kebebasannya dalam hal pergaulan.Â
Nilai dalam novel ini mengandung salah satu cara berpikir implementasi kesetaraan gender yang mana wanita pun berhak menentukan jalan hidupnya dan apa yang terbaik dalam hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H