Namun, Elisa teguh dalam prinsipnya dimana ia menempatkan harga dirinya sebagai sesuatu yang dia junjung tinggi di atas apapun sehingga itu ia tak memberikan "makhkotanya" kepada lelaki mana pun selagi belum dimiliki oleh seorangnya melalui pernikahan yang sah.
Kedekatakan dengan Jito sudah terlampau dekat, bahkan dia telah dibawa ke keluarga Solo untuk dikenalkan sebagai kekasih oleh pria asal Solo itu. Harapan akan menjadi seorang istri dari Jito semakin maju, tetapi ia merasa semakin jauh dan semu hubungannya dengan laki-laki itu.Â
Seringnya dia membatalkan janji yang telah dibuat di waktu libur Elisa. Itu menjadi satu kekesalannya karena pria itu dapat dengan mudah membatalkan janji-janji yang telah dibuatnya untuk pertemuan yang dinantikan setiap waktu libur dinasnya di penerbangan.
Pada akhirnya, Elisa kecewa pada kekasihnya yang ternyata dikabarkan akan menikah dengan gadis lain anak seorang pengawal presiden. Elisa merasa dikhianati, kecurigaannya selama ini benar atas pembatalan-pembatalan janji yang beralasan mendapat tugas dari kepala bagiannya, ternyata yang dia lakukan untuk mengencani wanita lain hingga membuatnya hamil dan harus segera menikahi perempuan itu.Â
Elisa patah hati ditinggalkan kekasihnya, kecintaannya pada lelaki Jawa yang dia dambakan dan bermimpi akan menjadi teman hidupnya, serta menjadi satu alasan baginya untuk menjadi warga negara Indonesia seutuhnya seakan dipatahkan begitu saja.
Semenjak hari itu, Elisa seolah hilang percaya pada lelaki. Elisa sangsi pada hubungan kasih dengan lelaki mana pun lagi. Ia memutuskan untuk meninggalkan tanah air dan berangkat ke Belanda karena kecintaannya kepada seorang lelaki Jawa sudah tidak dapat diharapkan lagi.Â
Elisa meninggalkan semua kenangan dan harapannya di tanah Indonesia dan tak berharap apapun lagi soal pria mana atau siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya.Â
Novel ini mempunyai pesan mendalam akan hak-hak sebagai wanita dalam kehidupan bermasyarakat. Betapa wanita seharusnya mempunyai kewenangan dalam menentukan nasib dirinya.Â
Wanita tidak harus selalu menjadi nomor dua di dalam kehidupan masyarakat yang aturannya diciptakan oleh masyarakat itu sendiri seolah wanita selalu berada di pihak yang harus mengalah dan menunggu, menunggu dikencani, menunggu dilamar, menunggu dipinang, menunggu dinikahi. Perempuan-perempuan pada masa itu tidak memiliki kesempatan yang sama sebagaimana kesempatan-kesempatan yang dimiliki oleh para laki-laki.Â
Tokoh Elisa digambarkan sebagai wanita yang mampu menentukan batas-batas dan kendali atas dirinya, dia yang mempunyai prinsip hidup yang kuat dan berani berbeda seperti apa yang dituduhkan kepada sesama kalangannya, terutama sebagai orang yang berstatus sebagai seorang hasil peranakan berdarah Belanda dengan pribumi yang terkenal dengan kebebasannya dalam hal pergaulan.Â
Nilai dalam novel ini mengandung salah satu cara berpikir implementasi kesetaraan gender yang mana wanita pun berhak menentukan jalan hidupnya dan apa yang terbaik dalam hidupnya.