Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan banyak perubahan yang berdampak besar dalam segala aspek kehidupan. Salah satu aspek kehidupan manusia yang mengalami perubahan pesat karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bidang komunikasi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menawarkan berbagai macam upaya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Salah satu upaya yang ditawarkan adalah dengan media sosial.
Media sosial atau sosial media networking merupakan salah satu platform digital yang menawarkan kepada penggunanya mengenai kemudahan untuk berkomunikasi dengan saudara jauh maupun membangun relasi baru yang luas tanpa ada batasan jarak atau waktu. Media sosial ditawarkan sebagai wadah untuk para penggunanya dapat berinteraksi dengan antar pengguna lainnya dalam dunia maya (cyberspace). Media sosial yang sering dipakai di Indonesia yaitu whatsapp, instagram, facebook, twitter, tiktok, dan masih banyak lagi.
Dalam perkembangannya, media sosial banyak memberikan manusia dampak positif maupun negatif dari para penggunanya. Meski tidak semua berdampak negatif, sayangnya semakin banyaknya pengguna media sosial. Memicu beberapa pelaku untuk menggunakan media sosial untuk perilaku negatif yang merusak generasi muda. Salah satu perilaku negatif yang dinilai mampu merusak generasi muda yaitu perilaku flexing.
Istilah flexing pertama kali muncul pada lagu yang dibawakan Ice Cube pada tahun 1992. Pengunaan kata flexing dirujukkan kepada sikap masyarakat kulit hitam amerika pada saat itu. Pada tahun 2014, Rae Sremmud menggunakan flexing sebagai sikap berpura-pura menjadi orang lain. Dikutip dari cambridge dictionary, flexing merupakan sikap bangga yang berlebihan yang dimiliki seseorang dan mampu mengganggu kenyamanan orang lain.
Perilaku flexing yang marak di media sosial merupakan budaya baru yang merujuk pada gejala konsumerisme dan hendonisme yang di alami para pengguna media sosial saat ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa flexing merupakan perilaku seseorang yang ingin menunjukkan apa yang dimilikinya sehingga dia terkesan paling mencolok diantara lainnya.
Personal Branding atau NPD?
Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak masyarakat mengenai flexing. Banyak dari mereka para pelaku flexing menyatakan bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan upaya untuk membangun personal branding mereka melalui akun media sosial. Menurut Rhenald Kasali, istilah flexing lebih banyak digunakan dalam strategi pemasaran. Namun kasali menyatakan masih banyak teknik pemasaran lainnya yang jauh lebih baik dari pada flexing. Pernyataan ini menggiring kepada opini lain yakni bahwa flexing adalah personal branding.
Ganiem menyatakan bahwa personal branding merupakan upaya seseorang membentuk citra diri dalam pandangan orang lain. Personal branding lebih terfokus pada bagaimana mereka membangun kualitas dirinya dalam hal pekerjaan atau profesionalitas. Sehingga dengan memiliki personal branding, mereka akan menciptakan kepercayaan diri yang tinggi di hadapan publik. Sehingga dapat dipahami bahwasanya flexing bukanlah bagian dari personal branding.
Flexing pada dasarnya memiliki hubungan dengan NPD atau Narcistic Personality disorder. Narcistic Personality Disorder atau Gangguan Kepribadian Narsistik merupakan salah satu gangguan mental dimana seseorang merasa dirinya lebih penting dari orang lain, rendahnya rasa empati, cenderung egois, dan memiliki obsesi terhadap pengakuan dari orang lain. Seseorang dengan gangguan ini cenderung merasa dirinya yang paling benar dan tidak bisa menerima kritik dari orang lain. "Karena dengan cara ini mereka merasa aman dan memberikan sinyal bahwa keberadaannya penting, meskipun sebenarnya tidak", menurut pandangan Erica Bailey.