Mohon tunggu...
Vivus Vici
Vivus Vici Mohon Tunggu... -

Damnant quod non intellegunt.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanggapan Tulisan "SBY dan 5 Jawaban untuk Tudingan Makar"

23 November 2016   11:49 Diperbarui: 23 November 2016   12:02 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun pak SBY bukan otak makar, tapi idealnya SBY menampilkan sikap-sikap kenegarawanan dengan menyampaikan pesan-pesan sejuk, bukan justru secara halus memprovokasi keadaan dengan melontarkan ungkapan-ungkapan tidak produktif seperti 'jangan ada yang kebal hukum' dan 'sampai lebaran kuda'. Publik menjadi antipati karena melihat ada ketidakkonsistenan. Misalnya, berulangkali Nazaruddin menyebut nama Ibas dalam kaitannya dengan kasus korupsi, namun tidak sekalipun SBY melontarkan pernyataan 'jangan ada yang kebal hukum' terkait kasus Ibas ini. Sehingga publik menilai "kalau belum bisa menerapkan untuk diri sendiri, ya jangan bicara tentang orang lain. Ahok masih lebih gentleman, bersedia diperiksa untuk kasus yang dituduhkan kepadanya".

Belum lagi jika menambahkan beredarnya pesan Whatsapp yang diduga berasal dari Choel Mallarangeng (simpatisan Demokrat) soal pendistribusian 'logistik' untuk demo 25 November. Memang, bisa saja ini cuma hoax. Tapi publik berlogika "kalau hoax, kenapa tidak diklarifikasi, bukankah Demokrat biasa melakukan klarifikasi?"

RT menulis:

"Salah satu titik puncak dari pengawalan proses demokratisasi oleh SBY adalah ketika ia tegas menolak menyetujui UU Pilkada yang membuat pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati dilakukan oleh DPRD."

Tanggapan:

Kita masih ingat apa yang terjadi saat itu. Ada tiga kubu di DPR. Ada yang ingin pilkada langsung, ada yang ingin pilkada melalui DPRD, dan Demokrat sebagai kubu tersendiri, ingin pilkada langsung dengan 10 syarat. Pada akhirnya, PDIP sebagai pentolan kubu yang memperjuangkan pilkada langsung menyetujui syarat Demokrat tersebut. ""Nggak ada masalah toh dari 10 usulan tadi sama dengan yang jadi poin PDIP," kata Sekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo, Kamis (25/9)." (http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/09/26/nchvc819-pdip-dukung-syarat-demokrat). Tapi apa yang terjadi? Ternyata Demokrat walk out. Nah, di sini keadaan semakin rancu. Demokrat berkelit bahwa pesan dari SBY adalah "all out" namun disalah mengerti anggota menjadi "walk out". Bukankah ini lucu? Kalau memang perintahnya all out namun salah tangkap menjadi walk out, apa pak SBY tidak mengamati perkembangan saat itu? Atau minimal ada orang dekat yang menginformasikan, bahwa anggota ternyata tidak menjalankan perintah? Kenapa tidak segera ditekankan kembali ke anggota bahwa perintahnya all out? Kecuali ini semua cuma alasan.

Lagi pula kalau semangat atau kecondongan Demokrat saat itu adalah pilkada langsung, tidak seharusnya mereka walk out. Kalaupun dari kubu PDIP misalnya tidak menyetujui salah satu atau sebagian dari 10 syarat Demokrat, tetap saja mereka harusnya mendukung kubu pilkada langsung, bukan malah walk out, yang justru menguntungkan kubu pilkada melalui DPRD. Karena derasnya desakan dari masyarakat lah maka SBY menerbitkan Perppu.

Saya kira itu yang bisa saya tanggapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun