Mohon tunggu...
Vivus Vici
Vivus Vici Mohon Tunggu... -

Damnant quod non intellegunt.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tanggapan Tulisan "SBY dan 5 Jawaban untuk Tudingan Makar"

23 November 2016   11:49 Diperbarui: 23 November 2016   12:02 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada dasarnya setiap orang bebas menyampaikan pendapat, selama itu dalam koridor yang benar. Tulisan Kompasianer Rahmat Thayib (selanjutnya disingkat RT) dengan judul di atas, menurut saya masih termasuk tulisan yang baik. Namun begitu, saya tertarik mengomentari beberapa pernyataan dalam tulisan tersebut (http://www.kompasiana.com/rahmathayib/sby-dan-5-jawaban-untuk-tudingan-makar_5834110e537a61dc09a88682).

RT menulis:

"Sebelum Fahri Hamzah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah satu sosok yang dituding hendak berbuat makar. Tampak jelas suatu skenario di media sosial yang mengiring opini publik terhadap SBY, dari aktor dibalik aksi unjukrasa umat Islam 4 November silam, sampai bermaksud berbuat makar"

Tanggapan:

Jika saya amati perkembangan di media-media online, sebagian besar publik tidak menilai pak SBY sebagai otak pelaku upaya makar. Sekali lagi, sebagian besar publik tidak menilai SBY sebagai otak makar. Tapi demo-demo kemarin memang cukup rumit, karena ada banyak kepentingan/agenda tercampur di dalamnya: ada yang murni membela agama (sepertinya ini mayoritas), ada yang memanfaatkan momen ini untuk merongrong Presiden Jokowi, ada yang memanfaatkannya untuk mengambil keuntungan politik terkait Pilkada DKI (agar Ahok terjegal, atau minimal suara pemilihnya jatuh), bahkan dapat diduga ada yang memanfaatkan untuk merubah dasar negara dengan memaksakan paham-paham radikal tertentu. Bahwa demo kemarin telah disusupi kepentingan lain tampak dengan adanya aksi kerusuhan oleh pihak tertentu di akhir demonstrasi.

Bahwa demo kemarin sebagian murni membela agama tampak dari hadirnya diantara pendemo tokoh-tokoh seperti KH AA Gym dan KH Arifin Ilham.

Bahwa demo kemarin dimanfaatkan pihak tertentu untuk merongrong Jokowi tampak dari fakta-fakta, diantaranya, orasi Fahri Hamzah untuk menjatuhkan pemerintah. "“Jangankan menjatuhkan seorang Ahok, Presiden pun bisa kita jatuhkan,” kata Fahri." (http://pojoksatu.id/news/berita-nasional/2016/11/04/orasi-fahri-hamzah-presiden-kita-jatuhkan/). Juga adanya orasi Ahmad Dhani yang menjatuhkan martabat Presiden Indonesia dengan mengata-ngatainya dengan umpatan binatang. ""Ingin saya katakan ****! Tapi tidak boleh. Ingin saya katakan ***! Tapi tidak boleh." (http://jateng.tribunnews.com/2016/11/07/begini-isi-orasi-ahmad-dhani-saat-demo-4-november-depan-istana-yang-bikin-ia-dilaporkan-polisi). Disamping itu, sebelum aksi demo, ada pernyataan dari Wasekjen MUI Tengku Zulkanain jika dalam 2 minggu Ahok tidak diproses, presiden akan diturunkan. "Kalau 2 minggu tidak diproses juga, ya presidennya kita turunkan". (https://www.youtube.com/watch?v=L6euDmmfSDk)

Lalu dimana posisi pak SBY? Publik melihat SBY adalah pihak yang mencoba tampil untuk mengambil keuntungan politik (terkait pilkada DKI) melalui momentum ini. Namun justru hal itulah yang disayangkan masyarakat. Mengapa demikian? Ini terkait alasan berikutnya.

RT menulis:

"Karena makar bertentangan dengan negarawan; seseorang yang memproduksi nilai-nilai kebajikan semata-mata untuk kepentingan negara. Keduanya saling meniadakan. Seorang negawaran mustahil bertindak makar; dan sebaliknya makar tidak akan menyeruak dari pikiran negarawan sejati."

Tanggapan:

Meskipun pak SBY bukan otak makar, tapi idealnya SBY menampilkan sikap-sikap kenegarawanan dengan menyampaikan pesan-pesan sejuk, bukan justru secara halus memprovokasi keadaan dengan melontarkan ungkapan-ungkapan tidak produktif seperti 'jangan ada yang kebal hukum' dan 'sampai lebaran kuda'. Publik menjadi antipati karena melihat ada ketidakkonsistenan. Misalnya, berulangkali Nazaruddin menyebut nama Ibas dalam kaitannya dengan kasus korupsi, namun tidak sekalipun SBY melontarkan pernyataan 'jangan ada yang kebal hukum' terkait kasus Ibas ini. Sehingga publik menilai "kalau belum bisa menerapkan untuk diri sendiri, ya jangan bicara tentang orang lain. Ahok masih lebih gentleman, bersedia diperiksa untuk kasus yang dituduhkan kepadanya".

Belum lagi jika menambahkan beredarnya pesan Whatsapp yang diduga berasal dari Choel Mallarangeng (simpatisan Demokrat) soal pendistribusian 'logistik' untuk demo 25 November. Memang, bisa saja ini cuma hoax. Tapi publik berlogika "kalau hoax, kenapa tidak diklarifikasi, bukankah Demokrat biasa melakukan klarifikasi?"

RT menulis:

"Salah satu titik puncak dari pengawalan proses demokratisasi oleh SBY adalah ketika ia tegas menolak menyetujui UU Pilkada yang membuat pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati dilakukan oleh DPRD."

Tanggapan:

Kita masih ingat apa yang terjadi saat itu. Ada tiga kubu di DPR. Ada yang ingin pilkada langsung, ada yang ingin pilkada melalui DPRD, dan Demokrat sebagai kubu tersendiri, ingin pilkada langsung dengan 10 syarat. Pada akhirnya, PDIP sebagai pentolan kubu yang memperjuangkan pilkada langsung menyetujui syarat Demokrat tersebut. ""Nggak ada masalah toh dari 10 usulan tadi sama dengan yang jadi poin PDIP," kata Sekretaris Jenderal DPP PDIP Tjahjo Kumolo, Kamis (25/9)." (http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/09/26/nchvc819-pdip-dukung-syarat-demokrat). Tapi apa yang terjadi? Ternyata Demokrat walk out. Nah, di sini keadaan semakin rancu. Demokrat berkelit bahwa pesan dari SBY adalah "all out" namun disalah mengerti anggota menjadi "walk out". Bukankah ini lucu? Kalau memang perintahnya all out namun salah tangkap menjadi walk out, apa pak SBY tidak mengamati perkembangan saat itu? Atau minimal ada orang dekat yang menginformasikan, bahwa anggota ternyata tidak menjalankan perintah? Kenapa tidak segera ditekankan kembali ke anggota bahwa perintahnya all out? Kecuali ini semua cuma alasan.

Lagi pula kalau semangat atau kecondongan Demokrat saat itu adalah pilkada langsung, tidak seharusnya mereka walk out. Kalaupun dari kubu PDIP misalnya tidak menyetujui salah satu atau sebagian dari 10 syarat Demokrat, tetap saja mereka harusnya mendukung kubu pilkada langsung, bukan malah walk out, yang justru menguntungkan kubu pilkada melalui DPRD. Karena derasnya desakan dari masyarakat lah maka SBY menerbitkan Perppu.

Saya kira itu yang bisa saya tanggapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun